Lokalisasi produksi mobil hibrida yang diinginkan oleh pemerintah diakui cukup sulit dan butuh studi mendalam, baik dari sisi pabrikan maupun pemerintah. Hal ini tergantung banyak hal, mulai dari prospek volume penjualan, besaran insentif pajak, serta ketentuan-ketentuan lain dari pemerintah seperti tingkat komponen lokal minimal.
Pemerintah saat ini sedang meramu regulasi low carbon emission vehicles (LCEV) yang didalamnya berisi pemberian insentif pajak untuk kendaraan berteknologi alternatif seperti mobil hibrida, gas, atau listrik. Akan tetapi, untuk mendapatkan insentif pajak, ada kewajiban memproduksi di dalam negeri dengan tingkat komponen lokal tertentu.
Direktur Pemasaran dan Layanan Purnajual PT. Honda Prospect Motor Jonfis Fandy mengapresiasi niat pemerintah memberikan insentif pajak. Ia mengatakan, semua pabrikan sebenarnya sudah siap jika hanya bicara mengenai teknologi, baik itu hibrida, gas, bahkan hingga mobil listrik.
Akan tetapi, jika berbicara mengenai keharusan memproduksinya di dalam negeri dengan tingkat komponen lokal tinggi, urusannya menjadi lebih sukar. "Ketika mau produksi di sini, kan itu jadi ada perhitungan skala ekonominya," ucap Jonfis ketika ditemui pertengahan pekan ini di Alam Sutera, Tangerang.
Perhitungan mengenai volume penjualan mobi hibrida di pasar dalam negeri ini menjadi amat penting. Apalagi, kemungkinan mengekspor mobil hibrida, ucap Jonfis, sangat kecil karena pasar-pasar mobil hibrida sudah melakukan lokalisasi produksi.
Karena itu, Jonfis mengungkapkan pabrikan pasti perlu mempelajari secara mendalam jika mobil hibrida benar-benar harus diproduksi di dalam negeri dengan tingkat komponen lokal tinggi demi sebuah insentif pajak. Perhitungan itu harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi harga jual dan volume penjualan seperti besaran insentif, nilai investasi, dan kemungkinan segmen mobil bermesin konvensional yang bisa 'termakan'.
"Sampai sekarang saya rasa belum ada pabrikan yang siap untuk melakukan produksi mobil hibrida ya. Apalagi kalau komponen lokal dicanangkan sampai 80 persen," nilai Jonfis.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Pemasaran PT. Suzuki Indomobil Sales Donny Saputra, saat diwawancarai di Jakarta beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa mobil hibrida akan berharga di atas Rp200 juta walaupun mendapat insentif. Padahal, 60-70 persen konsumen mobil Indonesia tahun lalu memiliki daya beli di bawah Rp200 juta.
Sebagai informasi, pemerintah menargetkan Indonesia memiliki 2.200 unit mobil hibrida pada 2025. Institut Otomotif Indonesia menilai volume yang menjadi sasaran pemerintah terlalu kecil dan kurang ambisius untuk dapat memancing pabrikan-pabrikan membawa, apalagi memproduksi mobil hibrida mereka di Tanah Air.