Suara.com - Yamaha membantah adanya praktik kartel dalam penjualan sepeda motor di Indonesia dalam sidang kedua pemeriksaan pendahuluan dugaan praktik kartel antara Honda dan Yamaha berlangsung pada Selasa (26/7/2016) di Jakarta.
Dalam bantahannya Yamaha mengatakan bahwa investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menggunakan alat bukti yang tidak sah. Executive Vice President PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) Dyonisius Beti, saat menyampaikan bantahan resmi, mengatakan satu dari dua alat bukti, yaitu korespondensi surat elektronik di internal Yamaha, tidak valid.
"Email bukanlah sebuah barang bukti karena email bukanlah produk yang sah dari perusahaan untuk pengambilan keputusan. Faktanya, email tidak pernah ditindaklanjuti penerima yaitu saya sendiri dan tak pernah dibahas di Yamaha," tegas Dyonisius.
Dalam sidang pertama (19/7/2016), KPPU menjelaskan dugaan praktik kartel antara Honda dan Yamaha berawal dari korespondensi email Presiden Direktur YIMM Yoichiro Koijima kepada tim pemasaran YIMM. Email itu dikirim setelah Koijima bermain golf dengan Presiden Direktur PT Astra Honda Motor Toshiyuki Inuma.
Isi email itu adalah permintaan agar harga skuter matik Yamaha dinaikkan sesuai kenaikan harga yang dilakukan Honda.
Selain alat bukti tidak sah, Dyonisius juga menegaskan bahwa kebijakan harga di Yamaha Indonesia diambil oleh dirinya dan bukan ranah presiden direktur.
"Penentuan kenaikan harga di Yamaha Indonesia pun bukan di Presdir, tapi sudah didelegasikan ke saya," lanjutnya.
Selain itu, tidak adanya periode dugaan praktik kartel antara Honda-Yamaha dalam LDP, menurut Dyonisius, juga tak lazim. Tim investigator pun tak bisa memberikan bukti kesepakatan penaikan harga antara Yamaha dengan Honda berupa konfirmasi pengakuan, notulen rapat, dan sebagainya.
Karena itu, ujar Dyonisius, poin kesepakatan dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri sepeda motor tidak bisa terbukti.