Suara.com - Paus Fransiskus meninggal dunia di usia 88 tahun. Ia wafat di kediamannya, Casa Santa Marta, Vatikan. Kepergiannya terjadi hanya sehari setelah sempat muncul di Lapangan Santo Petrus, menyapa ribuan umat dengan ucapan "Selamat Paskah".
Duka mendalam terasa di berbagai penjuru dunia. Paus Fransiskus jelas bukan sosok biasa. Ia pemimpin spiritual bagi lebih dari 1,4 miliar umat Katolik sekitar 17 persen populasi bumi, menurut data Vatikan terbaru.
Tak heran, banyak yang merasa kehilangan.
Tak heran pula jika sosoknya menyedot perhatian besar saat tur ke Asia pada 2024. Ribuan orang tumpah ruah hanya untuk melihatnya lewat.
Di Timor-Leste, hampir separuh penduduknya hadir dalam misa terbuka yang dipimpin langsung oleh Paus Fransiskus.
Di Jakarta, puluhan ribu umat Katolik memadati Stadion Gelora Bung Karno. Mereka mengikuti Misa Akbar yang juga dipimpin oleh Paus.
Banyak umat datang dari luar kota. Mereka rela menempuh perjalanan jauh demi satu tujuan bertemu Paus dan ikut misa. Tapi tak semuanya berhasil masuk stadion. Tiket terbatas, sebagian harus puas menyimak dari luar.

Setahun sebelumnya, lebih dari satu juta orang berkumpul di bawah terik matahari. Mereka hadir dalam misa di bandara Kinshasa, Republik Demokratik Kongo bagian dari tur Paus ke Afrika.
Kehadiran massa dalam jumlah besar seperti itu bukan kebetulan. Itu bukti betapa kuat pengaruh Paus Fransiskus dan Gereja Katolik di dunia.
Baca Juga: 9 Prosesi Setelah Paus Fransiskus Meninggal Dunia Hingga Pengangkatan Paus Baru
Paus tidak hanya pemimpin umat Katolik. Ia juga kepala negara Kota Vatikan, dan memimpin Takhta Suci—pemerintahan tertinggi Gereja.
Takhta Suci memiliki status unik dalam hukum internasional. Ia diakui sebagai entitas berdaulat dan menjalin hubungan diplomatik resmi dengan 184 negara dan Uni Eropa.
Dengan kata lain, Vatikan ikut bermain di panggung politik global.
Posisi Paus sangat kuat. Ia pemimpin spiritual bagi lebih dari satu miliar orang sekaligus kepala pemerintahan. Kombinasi ini menjadikannya salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia.
Takhta Suci bahkan memiliki kursi tetap di PBB. Bukan anggota penuh, tapi punya akses ke rapat-rapat penting. Dari situ, ia bisa menyuarakan pandangan moral Gereja dalam isu-isu dunia.
Contohnya, menjelang kesepakatan iklim Paris 2015, Paus Fransiskus mengecam "ketidakpedulian yang sombong" negara-negara yang mendahulukan bisnis ketimbang bumi. Ucapan itu menggema. Dukungan dari negara-negara Global South menguat.
Namun, posisi Takhta Suci tak selalu berpihak pada progresifitas. Di KTT Iklim PBB 2024, Vatikan memblokir diskusi soal hak-hak perempuan. Persoalannya, teks kesepakatan menyebut kemungkinan bantuan bagi perempuan transgender.
Vatikan, bersama Arab Saudi, Rusia, Iran, dan Mesir, menolak. Mereka ingin semua referensi terhadap kelompok transgender dihapus.
Meskipun Gereja dikritik habis-habisan atas langkah tersebut, hal ini memperlihatkan kekuatannya dalam membentuk kesepakatan yang memengaruhi kehidupan orang-orang di seluruh dunia.
Kesepakatan menormalkan hubungan AS dan Kuba pada 2014 adalah contoh lain dari diplomasi Paus yang efektif.
Presiden Barack Obama dan Raúl Castro secara terbuka menyampaikan terima kasih kepada Paus Fransiskus. Ia dianggap berperan penting dalam memulihkan hubungan diplomatik AS-Kuba.
Fransiskus tidak hanya menulis surat kepada kedua pemimpin. Ia juga menyelenggarakan pertemuan rahasia di Vatikan. Dari balik tembok itu, lahir terobosan diplomatik yang mengejutkan dunia—meski akhirnya dibatalkan di era Presiden Donald Trump.
Namun, menurut Prof. David Hollenbach dari Berkley Center for Religion, Peace and World Affairs, pencapaian terbesar Gereja Katolik dalam 25 tahun terakhir justru bukan soal diplomasi.
Melainkan demokrasi.
Ia menyebut pengaruh Gereja terhadap transisi demokrasi global sebagai kontribusi yang monumental.
Akar dari semua ini dapat ditelusuri ke Konsili Vatikan II di era 1960-an. Di titik itu, Gereja mulai merefleksikan ajaran-ajarannya secara kritis. Hasilnya: komitmen kuat pada hak asasi manusia dan kebebasan beragama.
“Terobosan besar,” kata Hollenbach.
Ia mengutip temuan ilmuwan politik ternama, Samuel Huntington. Dalam risetnya, Huntington mencatat bahwa selama masa Paus Yohanes Paulus II hingga awal kepemimpinan Fransiskus, tiga perempat negara yang bertransisi dari rezim otoriter ke demokrasi adalah negara dengan pengaruh Katolik yang kuat.
Gereja, dengan kata lain, bukan sekadar institusi moral. Ia ikut membentuk arah sejarah dunia.
"Dimulai dengan Spanyol dan Portugal yang menjauh dari [kediktatoran] Franco dan Salazar, dan kemudian menyebar ke Amerika Latin."
"Kemudian menyebar dari Amerika Latin ke negara-negara seperti Filipina dan Korea Selatan, yang memiliki kehadiran Katolik yang kuat," kata Prof Hollenbach mengutip Huntington.
Karya Paus Yohanes Paulus II membantu mengantarkan demokrasi di negara asalnya, Polandia, kata Prof Hollenbach.
"Pada akhirnya mengarah pada runtuhnya Uni Soviet dan penyebaran demokrasi di banyak bagian bekas Kekaisaran Soviet," kata dia.
Bagaimanapun, Vatikan tidak selalu mampu memengaruhi para pemimpin dunia.
Misalnya, saat Wakil Presiden AS, JD Vance—yang juga seorang Katolik—menggunakan teologi untuk membenarkan tindakan keras pemerintahnya terhadap imigrasi.
Paus menulis surat yang sangat keras dengan menyatakan bahwa Yesus sendiri adalah seorang pengungsi.
Pejabat imigrasi veteran AS, Tom Homan—yang juga seorang Katolik—menanggapinya dengan: "Paus seharusnya memperbaiki Gereja Katolik."
Tahun 2020, Paus Fransiskus bersuara lantang. Ia menyerukan perlindungan untuk hutan Amazon dan masyarakat adatnya.
Tak semua senang. Mantan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, mengecam pernyataan itu.
“Paus mungkin orang Argentina, tapi Tuhan adalah orang Brasil,” katanya sinis.
Pernyataan Bolsonaro menyoroti ketegangan lama antara politik, lingkungan, dan agama.
Di Eropa, pengaruh sosial Gereja Katolik juga mulai memudar. Sikap konservatif terhadap isu-isu seperti hak LGBT+, kontrasepsi, dan aborsi makin dianggap tak relevan di abad ke-21.
Paus Fransiskus pun dikritik karena tak membuka ruang bagi perempuan untuk menjadi imam atau diakon. Banyak yang kecewa. Perubahan yang diharapkan belum juga datang.
Di Amerika Latin, pengaruh Gereja masih terasa kuat. Tapi daya itu perlahan melemah.
Dulu, Gereja berhasil mendorong lahirnya undang-undang aborsi yang ketat di berbagai negara. Namun dalam dua dekade terakhir, arah angin berubah. Uruguay, Meksiko, Argentina, dan Kolombia mulai melonggarkan akses terhadap aborsi—bertentangan dengan ajaran Katolik.
Sementara itu, gereja-gereja Evangelis tumbuh pesat.
Di Brasil, rumah bagi penganut Katolik terbanyak di dunia, para analis memperkirakan agama ini tak akan lagi menjadi mayoritas dalam lima tahun ke depan.
Krisis lainnya datang dari dalam tubuh Gereja sendiri.
Skandal pelecehan seksual yang terus terungkap, dan peran Gereja dalam menutupinya, telah merusak kepercayaan publik secara global.
Meski begitu, siapa pun yang menjadi Paus tetap akan memegang pengaruh luar biasa. Tak ada pemimpin lain yang memadukan otoritas spiritual dan politik sebesar itu.
Sebagai kepala cabang terbesar dalam agama Kristen dan kepala negara Vatikan, suara Paus tetap menggema di panggung dunia.
Entah saat mencium kaki pemimpin yang berseteru di Sudan Selatan, atau menyambangi para migran di kamp pengungsian Yunani—tindakan Paus terus menyentuh isu-isu kemanusiaan paling mendesak di zaman ini.