Relawan paralegal diharapkan tidak hanya memberi bantuan hukum, tetapi juga menjadi penghubung antara korban dan berbagai layanan pemulihan, termasuk layanan sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Terutama bagi korban dari kalangan pondok pesantren dan penyandang disabilitas, keberadaan pendamping yang memahami konteks sosial dan budaya sangat dibutuhkan.
Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi menyatakan dukungan penuhnya terhadap program ini. Ia menyampaikan bahwa berdasarkan survei nasional, satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dan lebih dari separuh anak usia 13–17 tahun mengaku menjadi korban, umumnya di lingkungan keluarga. Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan adalah persoalan yang melibatkan semua pihak dan tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah.
"Saya percaya, kekuatan untuk mencegah kekerasan tidak hanya datang dari pemerintah. Masyarakat, termasuk organisasi seperti Muslimat NU, adalah pilar utama. Inisiatif seperti ini sangat inspiratif. Saya berharap Jawa Tengah bisa menjadi percontohan nasional dalam penanganan kekerasan secara holistik," ujarnya.
Acara peluncuran dilakukan secara simbolis kepada para relawan paralegal oleh Menteri PPPA, serta penandatanganan nota kesepahaman antara Pemprov Jateng dan Kementerian PPPA. Selain itu, dilakukan pula perjanjian kerja sama antara PW Muslimat NU dengan Kementerian Agama serta Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah.
Dengan peluncuran program ini, Pemprov Jateng berharap langkah-langkah perlindungan perempuan dan anak dapat lebih konkret dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, khususnya mereka yang berada di wilayah-wilayah rawan dan terpencil.