Suara.com - Dunia hukum Indonesia berduka atas kepergian salah satu tokohnya yang paling disegani, Hotma Sitompul.
Pengacara senior yang dikenal karena kiprah panjang dan kontroversial dalam dunia advokasi ini mengembuskan napas terakhir pada usia 75 tahun, Rabu (16/4/2025) pukul 11.15 WIB.
Ia wafat di ruang Intensive Care Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta, setelah menjalani perawatan.
Kabar duka ini pertama kali diumumkan melalui unggahan media sosial Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron, organisasi yang didirikannya dan selama ini menjadi wadah bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu.
Kepergian Hotma meninggalkan duka mendalam, tidak hanya bagi dunia hukum, tetapi juga bagi publik luas yang mengenalnya sebagai sosok pengacara flamboyan, tangguh, dan tak jarang kontroversial.
Sepanjang hidupnya, ia terlibat dalam berbagai kasus besar yang kerap menghiasi pemberitaan media mulai dari perkara korporasi, pidana berat, hingga urusan rumah tangga selebritas.
Hotma bukan hanya dikenal karena kecerdasannya dalam menyusun strategi hukum, tetapi juga karena komitmennya terhadap akses keadilan bagi semua lapisan masyarakat.
Kepergiannya tak hanya meninggalkan kekosongan dalam dunia advokasi Indonesia, tetapi juga menjadi momen refleksi tentang dedikasi, integritas, dan semangat juang yang ia wariskan sepanjang hidupnya.
Baca Juga: Kronologi Singkat Meninggalnya Hotma Sitompul, Cuci Darah Dua Kali Seminggu
Hotma Sitompul merupakan sosok langka di dunia hukum Indonesia, tidak hanya karena kiprahnya sebagai pengacara kawakan, tetapi juga karena latar belakang akademiknya yang mengesankan.
Ia menempuh pendidikan hukum secara lengkap, mulai dari jenjang sarjana (S1), magister (S2), hingga doktor (S3)—semuanya di Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu institusi pendidikan hukum paling bergengsi di Indonesia.
Pada jenjang S2, ia mengambil jurusan Magister Bisnis, menunjukkan ketertarikannya terhadap dinamika hukum dalam ranah ekonomi dan korporasi.
Konsistensinya menempuh seluruh jenjang pendidikan di UGM tak hanya mencerminkan kecintaannya pada ilmu hukum, tetapi juga menunjukkan bahwa di balik ketegasan dan gayanya yang flamboyan di ruang sidang, ada pondasi intelektual yang kuat dan mendalam yang menjadi penopang karier panjangnya sebagai seorang advokat kelas atas.
Di laman resmi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), terungkap bahwa Hotma Sitompul menyelesaikan pendidikan doktoralnya dengan fokus riset yang sangat relevan bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, yakni asset recovery atau pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Topik ini menunjukkan kepedulian akademis Hotma terhadap salah satu persoalan hukum paling krusial di tanah air, bagaimana negara bisa merebut kembali kekayaan yang digerogoti oleh para pelaku korupsi.
Pilihan tema ini tidak hanya mencerminkan ketajaman intelektualnya, tetapi juga menggambarkan komitmennya terhadap penegakan hukum yang berkeadilan dan berorientasi pada pemulihan kerugian negara.
Di tengah citranya sebagai pengacara papan atas yang kerap menangani kasus-kasus besar dan kontroversial, Hotma tetap menunjukkan sisi idealismenya lewat kontribusi akademis yang sangat strategis dalam ranah hukum publik.
Melalui disertasinya yang menggugah pemikiran, Hotma Sitompul menawarkan pendekatan segar dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Ia mengusulkan agar terdakwa korupsi yang dijatuhi pidana pokok selama 4 tahun serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti (PUP) sebesar Rp100 miliar, dikenai pula pidana penjara pengganti selama 10 tahun jika PUP tidak dibayar.
Namun, dalam konsepnya, pidana penjara tersebut dapat dikurangi 1 tahun setiap kali terpidana membayar Rp10 miliar, sehingga memberi insentif kuat bagi pelaku untuk mengembalikan kerugian negara secara bertahap.
Gagasan ini memantik diskusi kritis dalam ruang sidang akademik.
Salah satu penguji, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum., mempertanyakan apakah pendekatan semacam ini tidak justru mengaburkan tujuan pemasyarakatan, karena seolah-olah nilai hukuman dapat ditukar dengan uang.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam praktik, tidak semua terdakwa korupsi menikmati hasil kejahatan secara langsung.
Namun, Hotma dengan tegas membela gagasannya.
Menurutnya, fokus utama dalam kasus korupsi seharusnya bukan semata-mata menghukum pelaku, tetapi juga mengutamakan pengembalian kerugian negara.
“Yang menjadi masalah sekarang adalah menghukum orang itu atau mengembalikan kerugian negara? Kita harus mementingkan pada pengembalian,” tegasnya.
Argumen ini mencerminkan sudut pandang berani, yang berusaha menyeimbangkan antara aspek penghukuman dan pemulihan ekonomi negara, yakni sebuah ide yang layak diperhitungkan dalam reformasi hukum pidana korupsi Indonesia.
Dalam kesimpulan disertasinya, Hotma Sitompul menegaskan bahwa sebenarnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah menyediakan sejumlah pasal yang dapat dimaksimalkan oleh para penegak hukum untuk mengoptimalkan proses pengembalian kerugian negara.
Ia menyoroti secara khusus potensi yang terkandung dalam Pasal 2 dan Pasal 3, Pasal 18 ayat (3), serta Pasal 38B ayat (2) dan (5).
Bagi Hotma, ketentuan-ketentuan ini bukan sekadar norma hukum yang kaku, tetapi bisa dijadikan alat strategis dalam menekan para pelaku korupsi agar tidak hanya dihukum, tetapi juga bertanggung jawab mengembalikan uang negara yang telah mereka jarah.
Ketua Tim Penguji secara resmi menyatakan bahwa Hotma Padan Dapotan Sitompul, S.H., M.Hum., lulus dengan predikat cum laude—sebuah pengakuan tertinggi dalam dunia akademik.
Sorak kecil dan tepuk tangan pun mengiringi momen tersebut. Di akhir acara, Prof. Nindyo selaku promotor memberikan pesan mendalam yang tidak kalah penting dari gelar itu sendiri.
Ia mengingatkan bahwa gelar doktor bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal dari ujian sejati dalam kehidupan bermasyarakat.
“Jika Bang Hotma konsisten dengan apa yang didapatkan dari disertasi ini, maka suarakanlah pemikiranmu. Gunakan itu untuk mengabdi kepada negeri, terutama dalam memperjuangkan mekanisme asset recovery yang lebih tajam dan efektif,” pesannya.
Sebuah kalimat penutup yang menggambarkan harapan besar agar ilmu yang telah diperjuangkan dengan susah payah itu benar-benar memberi dampak nyata bagi bangsa.