Suara.com - Mahkamah Agung (MA) angkat bicara mengenai empat orang hakim dan seorang panitera yang terjerat dalam kasus dugaan suap terkait putusan vonis lepas atau ontslag dalam dugaan tindak pidana korupsi ekspor minyak mentah atau CPO dengan terdakwa korporasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Juru bicara MA, Yanto mengatakan, pihaknya saat ini telah memberhentikan sementara para hakim dan panitera yang saat ini telah dijerat sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Hakim dan panitera yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan akan diberhentikan sementara," kata Yanto di Mahkamah Agung, Senin (14/4/2025).
Namun para tersangka telah mendapat ptusan yang berkekuatan hukum tetap, maka kelima orang tersebut bakal diberhentikan secara tetap.
"Jika telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap akan diberhentikan tetap," ucapnya.
Sementara, untuk perkara CPO dengan terdakwa pihak korporasi dengan Hakim Ketua Djumyanto, saat ini belum berkekutan hukum tetap. Pasalnya usai divonis lepas, pihak jaksa penuntut umum (JPU) langsung mengajukan kasasi.
"Putusan pengadilan tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut belum berkekuatan hukum tetap, karena penuntut umum telah mengajukan upaya hukum kasasi pada tanggal 27 Maret 2025," ujarnya.
Yanto mengatakan setelah berkas kasasi telah dinyatakan lengkap, maka pihak Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan segera mengirimkan berkas kasasi ke Mahkamah Agung secara elektronik.
Untuk mencegah hal serupa, lanjut Yanto, MA bakal menerapkan aplikasi penunjukan hakim secara robotik pada pengadilan tingkat pertama.
Baca Juga: 'Wakil Tuhan' Doyan Disuap, Harta Hakim PN Jaksel Djuyamto Tembus Rp2,9 M: Asetnya Fantastis!
“Dan tingkat banding sebagaimana telah ditetapkan di Mahkamah agung untuk meminimalisir terjadinya potensi judicial corruption,” jelasnya.
Tiga Hakim Jadi Tersangka
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan 3 tersangka dalam dugaan tindak pidana suap terkait putusan vonis lepas atau ontslag dalam dugaan tindak pidana korupsi ekspor CPO dengan terdakwa korporasi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Ketiganya merupakan hakim yang memimpin jalannya sidang di Pengadilan Tipikor.
![Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Ali Muhtarom (depan) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025). [ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nym]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/04/14/71153-kejagung-tahan-3-hakim-pn-pusat-ali-muhtarom.jpg)
Adapun ketiga hakim ini yakni Djumyanto selaku Ketua Majelis Hakim yang saat itu memimpin jalannya persidangan. Kemudian, dua orang majelis hakim yakni Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Abdul Qohar mengatakan, perkara ini bermula ketika pengacara terdakwa, Ariyanto alias Ary Bakri bertemu dengan Wahyu Gunawan selaku panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk pemufakatan perkara dugaan korupsi ekspor minyak mentah.
Aryanto menyampaikan ke Wahyu Gunawan bakal memberikan uang senilai Rp20 miliar untuk mengurus perkara agar bisa ontslag atau vonis lepas.
Wahyu Gunawan kemudian menyampaikan hal ini ke Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Arif kemudian menyetujui hal ini, namun ia meminta uang senilai Rp60 miliar. Wahyu Gunawan kemudian menyampaikan itu ke Ariyanto.
Ariyanto pun menyetujui hal ini, kemudian menyerahkan uang tersebut kepada Wahyu. Wahyu selanjutnya menyerahkan uang itu ke Arif, usai menjadi penghubung, Arif kemudian memberikan Wahyu Gunawan uang senilai USD50 ribu.

Usai penetapan sidang, Arif kemudian memanggil ketiga hakim yang akan mengadili perkara ini. Arif kemudian menyerahkan uang senilai Rp4,5 miliar kepada tiga orang hakim melalui Agam Syarif Baharuddin untuk dibagi rata kepada dua hakim lainnya.
“Uang tersebut diberikan agar perkara diatensi,” kata Qohar, pada Senin (14/4/2025) dini hari.
Arif kembali menyerahkan uang senilai Rp18 miliar untuk dibagikan lagi kepada ketiga hakim tersebut. Uang tersebut diserahkan kepada Djumyanto selaku ketua majelis hakim.
Kemudian, oleh Djumyanto uang tersebut dibagikan kepada Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Adapun besaran pembagian tersebut yakni, Agam Syarif Baharudin senilai Rp4,5 miliar, Ali Muhtarom senilai Rp5 miliar. Sementara Djumyanto sendiri mendapat Rp6 miliar.
“Ketiga hakim tersebut mengetahui uang tersebut perkara ini diputus putusan ontslag,” jelasnya.
Ketiga orang tersangka terancam dijerat Pasal 12 huruf c juncto pasal 12B, jo pasal 6 ayat 2, jo pasal 18 UU nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke(1) KUHP