Kampus Muhammadiyah Dilarang 'Obral' Gelar Profesor Kehormatan, Abdul Mu'ti Ungkap Alasannya

Mu'ti menyebut bahwa untuk mendapatkan gelar guru besar sebenarnya tidak mudah
Suara.com - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) sekaligus Sekretaris Umum Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, setuju dengan pernyataan ketua umumnya Haedar Nashir yang melarang kampus Muhammadiyah memberi gelar kehormatan akademis.
Menurut Mu'ti, gelar kehormatan seperti Guru Besar memang harus berbasis keilmuan yang ditempuh secara formal.
"Prinsipnya saya setuju yang disampaikan Pak Haedar. Menurut saya, guru besar itu memang harus sesuai dengan namanya guru besar yang secara keilmuan itu dia tidak diragukan oleh orang lain," kata Mu'ti kepada wartawan, ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mu'ti menyebut bahwa untuk mendapatkan gelar guru besar sebenarnya tidak mudah. Hal itu seperti yang dia alami ketika ditetapkan menjadi Guru Besar Bidang Pendidikan Agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada September 2020.
Baca Juga: Hanya Ganti Istilah, FSGI Sarankan Penjurusan di SMA Tidak Perlu Diterapkan Lagi
"Pengalaman saya pribadi ya untuk jadi guru besar itu tidak mudah. Karena itu yang disampaikan Pak Haedar adalah upaya untuk menjaga mutu dan juga menjaga marwah dari perguruan tinggi dan juga marwah dari para guru besar itu sendiri," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menekankan kalau seluruh perguruan tinggi Muhammadiyah dan 'Aisyiyah (PTMA) dilarang memberikan gelar profesor kehormatan kepada siapa pun.
Alasannya untuk mencegah praktik 'obral' gelar profesor kehormatan.
"Pesan kami dari PP Muhammadiyah, PTMA jangan ikut-ikutan kasih gelar profesor kehormatan, karena profesor itu melekat dengan profesi dan institusinya, karena itu jabatan," kata Haedar saat memberi sambutan dalam acara Pengukuhan Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Jebul Suroso sebagai Guru Besar Bidang Manajemen Keperawatan, di Auditorium Ukhuwah Islamiyah UMP Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (10/4) lalu.
Namun demikian, belum ada surat keputusan tentang larangan tersebut. Dia berharap, pesan itu dianggap sebagai perintah Ketua Umum PP Muhammadiyah demi muruah dan kekuatan PTMA.
PT Muhammadiyah Dilarang Beri Gelar Profesor Kehormatan
Baca Juga: Tahun Ini, Pemerintah Targetkan 200 Sekolah Rakyat, 53 Unit Sudah Siap, 147 akan Dibangun
![Ketum PP Muhamma diyah, Haedar Nashir menyampaikan pesan kebangsaan dalam menyambut 2025, Rabu (1/1/2025). [Kontributor Suarajogja.id/Putu]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/01/01/37442-haedar-nashir.jpg)
Sebelumnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir melarang seluruh perguruan tinggi Muhammadiyah dan 'Aisyiyah (PTMA) untuk memberikan gelar profesor kehormatan kepada siapa pun.
"Pesan kami dari PP Muhammadiyah, PTMA jangan ikut-ikutan kasih gelar profesor kehormatan karena profesor itu melekat dengan profesi dan institusinya, karena itu jabatan," katanya saat memberi sambutan dalam acara Pengukuhan Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Jebul Suroso sebagai Guru Besar Bidang Manajemen Keperawatan, di Auditorium Ukhuwah Islamiyah UMP Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis lalu.
Kendati belum ada surat keputusan tentang hal itu, dia mengharapkan, pesan tersebut dianggap sebagai perintah Ketua Umum PP Muhammadiyah demi marwah dan kekuatan PTMA.
Dia menyebut hingga saat ini seluruh PTMA telah memiliki 431 profesor setelah dikukuhkan Jebul Suroso sebagai guru besar.
"Dengan bertambahnya guru besar, harus berdampak signifikan bagi kualitas keunggulan dan peran strategis perguruan tinggi Muhammadiyah dan 'Aisyiyah," katanya sebagaimana dilansir Antara.
Hingga saat ini, sudah ada 20 PTMA yang memiliki fakultas kedokteran, 14 PTMA di antaranya terakreditasi unggul karena perguruan tinggi di luar Jawa masih diperbolehkan memiliki fakultas kedokteran tanpa harus terakreditasi unggul.
"Taruhlah nanti sampai 20 yang akreditasinya unggul. Nah, keunggulan standar dari institusi harus berbanding lurus dengan keunggulan kualitatif dalam peningkatan catur dharma perguruan tinggi sekaligus peran dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan bangsa untuk membangun peradaban," katanya.
Menurut dia, hal itu disebabkan bukan hanya PTMA, perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia pun dalam hal mencapai world university rankings atau peringkat universitas dunia masih jauh.
Bahkan, ujarnya, hingga saat ini belum ada perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam daftar 200 peringkat universitas dunia.
"Universitas Indonesia itu di (peringkat) 206, selebihnya ada yang 400, 300, 500, dan di bawah 1.000, PTMA di 1.200-an. Malaysia ada tiga yang masuk 200 rangking dunia, Universiti Malaya di 65, kemudian Universiti Putra Malaysia di 158, dan Universiti Kebangsaan Malaysia di 159, Singapura jelas masuk," katanya.
Ia mengatakan tren baru menunjukkan sejumlah perguruan tinggi dari beberapa negara di Timur Tengah yang masuk 200 peringkat universitas dunia, antara lain Arab Saudi terdapat dua universitas serta Qatar dan Uni Emirat Arab masing-masing satu universitas.
Dia mengatakan dua negara di Amerika Latin, yakni Brasil dan Meksiko pun bisa masuk daftar 200 peringkat universitas dunia.
"Brasil biarpun sepak bolanya sekarang kalahan, bahkan nyaris tidak masuk kualifikasi Piala Dunia 2026, tapi universitasnya di Sao Paolo masuk di rangking 200. Jadi bahwa kita harus bekerja keras hanya untuk masuk standar world univerisity rankings, artinya bahwa biarpun di dalam negeri kita merasa besar, tapi di konteks dunia kita ketinggalan," kata Haedar.