Suara.com - "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." — Soekarno
SEKARANG ini, yang paling murah di negeri ini barangkali adalah kata "integritas". Tak perlu dibuktikan, cukup diucapkan sambil menatap kamera. Bonusnya? Bisa viral.
Lebih ironis lagi, integritas hari ini bisa dipinjam seperti kostum sewaan --dipakai ketika dibutuhkan, dilepas saat sudah mencemari citra. Dan yang paling absurd: bisa juga dijadikan jubah suci ketika tersandung perkara hukum. Tiba-tiba jadi "korban kriminalisasi", "pejuang yang dizalimi", bahkan —dengan wajah tanpa dosa— disandingkan dengan nama besar Bung Karno.
Begini, Bung. Bung Karno dipenjara karena menantang kekuasaan kolonial yang menghisap darah rakyat. Anda? Diproses hukum oleh negara merdeka karena dugaan mempermainkan kekuasaan yang justru diberikan rakyat. Jauh. Jauh sekali.
Mungkin kelakuan politisi ini sudah banyak dikupas dan dibahas di media sosial termasuk portal berita. Namun, melihat kenyataan dan moralitas politik itu bukan sesuatu identitas alias cuma make-up saja, ya begini jadinya. Akhirnya berhadapan dengan penegak hukum. Ini terlepas dari gonjang-ganjing lembaga anti-rasuah pun saat ini patut dipertanyakan independensinya. Perkara hukum dan politik hukum memang berbeda. Walaupun begitu, penegak hukum tidak boleh tunduk apalagi takut pada politisi yang terlibat perkara hukum.
Menyamakan diri dengan Soekarno dalam konteks ini, maaf, bukan hanya lucu, tapi menjijikkan. Yang satu berpidato di bawah bayang-bayang moncong senapan penjajah sebagai seorang negarawan, pemimpin bangsa. Yang satu lagi berkoar-koar lewat mikrofon mewah sambil dikelilingi tim hukum, tim pencitraan, dan mungkin buzzer bersponsor, meratap-ratap seolah sedang di-dzolimi. Plis... deh!
Dan yang paling menyedihkan, sebagian dari mereka yang hari ini memekik "kriminalisasi!" adalah nama-nama lama yang dulu duduk nyaman di kekuasaan saat Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan habis-habisan. Revisi Undang-Undang KPK? Selesai dalam sekejap, dengan koor bulat dipimpin partai yang mengaku pro rakyat. Pengawasan internal dipasung, independensi disayat, penyidik digasak keluar. Sekarang ketika hukum menggigit balik, barulah muncul air mata buaya bertabur kutipan Bung Karno. Ingat kan, TWK pegawai KPK? Giliran masuk kandang situmbin, baru meratap.
Integritas bukan properti eksklusif politisi yang sedang terpojok. Bukan juga kata sakti untuk menghindari pertanggungjawaban. Ia adalah komitmen —yang paling diuji justru ketika kita sedang di puncak kuasa, bukan saat berusaha menghindari akibat. Siapa yang menabur angin akan menuai badai... iya kan? Nah, siapa yang salah?
Kalau dulu saat berkuasa bisa dengan gagah mengebiri lembaga anti-rasuah, sekarang jangan mendadak jadi tokoh opera sabun dengan naskah penganiayaan politik. Rakyat sudah cukup muak dengan drama. Kami ingin pertanggungjawaban, bukan pertunjukan. Kalau memang merasa tidak bersalah, buktikan dengan jantan. Usah mendadak sok-sok romantis dengan bersurat-surat. Kemaren ke mane aje, Mas? Mau niru Soekarno..?
Dan kalau memang merasa tidak bersalah, silakan buktikan di pengadilan. Tapi tolong, jangan lagi mengemis simpati dengan cara mendaur ulang sejarah perjuangan yang tidak pernah Anda jalani. Bung Karno bukan tameng, apalagi pajangan pencitraan.
Ini bukan sekadar soal satu nama. Ini tentang pola. Tentang bagaimana para elite menggunakan "integritas" sebagai aksesori kampanye, lalu melupakan maknanya ketika sudah duduk nyaman di kursi kekuasaan. Jangan heran jika hari ini kepercayaan publik menguap —karena terlalu banyak yang bersumpah atas nama rakyat, tapi hidupnya menjilat kekuasaan. Sekarang jika masih belum juga sadar, ingat, suara rakyat sesungguhnya sedang bekerja. Kami tak pernah lupa. Rakyat yang terus melawan lupa.
Bung Karno pernah bilang, "Jangan sekali-kali melupakan sejarah." Tapi yang lebih menyedihkan adalah ketika sejarah digunakan untuk menipu publik dan menyelamatkan ego. Alih-alih mikirin rakyat, yang ada masih mikir ambil alih partai.
Jadi sekali lagi, Bung, tolong, plis deh..! Jangan samakan dirimu dengan Soekarno. Itu penghinaan, bukan penghormatan.
Penulis: Nanang Farid Syam, mantan Pegawai KPK.
Catatan: Opini tersebut di atas sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi Suara hanya melakukan editing seperlunya.