Kebijakan Sampah di Bali Tuai Protes: Larangan Minuman Kemasan Ancam Industri Daur Ulang?

Jum'at, 11 April 2025 | 18:18 WIB
Kebijakan Sampah di Bali Tuai Protes: Larangan Minuman Kemasan Ancam Industri Daur Ulang?
Ilustrasi sampah plastik kemasan air mineral. (Dok: KPPLI)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bersih Sampah menuai protes dari kalangan pengusaha, terutama pada poin pelarangan minuman kemasan plastik kecil.

Menyikapi kebijakan tersebut, sejumlah asosiasi pengusaha mengirim surat ke Pemprov Bali untuk dilibatkan diskusi terkait penerbitan aturan itu karena dinilai bisa berdampak buruk dalam jangka panjang.

Asosiasi tersebut di antaranya, Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi), Asosiasi Produsen Air Minum dalam Kemasan Nasional (Asparminas), Perkumpulan Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), serta Gabungan Usaha Nata de Coco Indonesia (Gapni).

Ketua Adupi Christine Halim mengungkapkan bahwa isi surat secara umum permintaan untuk berdiskusi dengan Gubernur Bali.

"Kami belum memberikan pandangan spesifik, kami minta waktu untuk berjumpa dengan Pak Gubernur. Dan kami menjelaskan mengenai nanti kira-kira dampaknya apa dan jalan keluarnya bagaimana," kata Christine kepada Suara.com, dihubungi Jumat (11/4/2025).

Christine berpandangan, Gubernur Bali keliru dalam mengeluarkan kebijakan pelarangan minuman kemasan kurang dari 1 liter tersebut.

Dia menyebutkan bahwa minuman kemasan kecil memang mendominasi jenis sampah di Bali. Namun, sampah tersebut lebih mudah diatasi dengan cara daur ulang agar tidak mencemari lingkungan.

Selain itu, minuman kemasan kecil juga jadi andalan para pengepul untuk mencari nafkah karena memiliki nilai ekonmi lebih tinggi dibandingkan kemasan besar.

"Daur ulang itu adalah bagian dari solusi, salah satu dari solusi, tidak bisa menyelesaikan semua solusi. Karena sampah yang ditimbulkan itu kan 100 persen sampah campur di mana rakyat tidak melakukan pemilahan dari sumbernya," ujarnya.

Baca Juga: Pemprov Bali Disarankan Belajar Kelola Sampah dari India, Adupi: Kebijakan Melarang Bukan Solusi

Sementara pelarangan kemasan kecil, menurut Christine, tidak menjadi solusi jangka panjang.

Dia membandingkan dengan kebijakan Pemprov Bali sebelumnya tentang kewajiban memilah sampah dari sumbernya sejak 1 Oktober 2024. Namun kebijakan itu justru tidak berjalan.

"Dan belum ada punishment kalau tidak melakukan pemilahan di masyarakat. Nah, terus daur ulang itu sebagai salah satu solusi yang bisa mendaur ulang plastik-plastik yang punya value. Botol PET yang dilarang itu atau kemasan plastik yang dibawah 1 liter, sebenarnya itu justru yang punya nilai yang paling tinggi untuk didaur ulang," jelasnya.

"Jadi kayaknya agak salah kalau yang dilarang itu," tegas Christine.

Sebelumnya, Gubernur Provinsi Bali Wayan Koster mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bersih Sampah.

Kebijakan itu bertujuan untuk pengurangan sampah plastik sekali pakai, terutama di pasar tradisional.

Gubernur Bali, Wayan Koster saat ditemui di Lapangan Lumintang, Denpasar, Kamis (27/2/2025) (suara.com/Putu Yonata Udawananda)
Gubernur Bali, Wayan Koster saat ditemui di Lapangan Lumintang, Denpasar, Kamis (27/2/2025) (suara.com/Putu Yonata Udawananda)

Dalam bagian larangan dan pengawasan, poin 4 dan 5 menjadi sorotan. Lantaran tertulis larangan bagi lembaga usaha untuk memproduksi air mineral kemasan plastik sekali pakai dengan volume kurang dari 1 liter di wilayah Provinsi Bali.

Selain itu, turut tercantum pula larangan bagi setiap distributor atau pemasok untuk mendistribusikan produk atau minuman kemasan plastik sekali pakai di Provinsi Bali.

Untuk minuman atau produk dengan volume 1 liter ke bawah, Koster memperbolehkan produksi dan distribusinya asalkan menggunakan botol kaca atau kemasan yang lebih ramah lingkungan.

Seluruh ketentuan ini ditargetkan untuk dilaksanakan paling lambat 1 Januari 2026.

Koster menyatakan bahwa pelaku usaha wajib melaporkan rencana dan implementasinya kepada Dinas Lingkungan Hidup, sebagai bentuk komitmen bersama menjaga alam Bali.

Untuk merealisasikannya, Koster menugaskan Satpol PP, perangkat daerah, dan komunitas lingkungan untuk melakukan pengawasan ketat di lapangan.

Tidak hanya berhenti di air minum, seluruh pelaku usaha di sektor pariwisata juga diwajibkan melakukan pengelolaan sampah berbasis sumber.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI