Kasus Rudapaksa Keluarga Pasien di RS Hasan Sadikin, Singkap Fakta Ambiguitas Status Dokter PPDS

Jum'at, 11 April 2025 | 13:58 WIB
Kasus Rudapaksa Keluarga Pasien di RS Hasan Sadikin, Singkap Fakta Ambiguitas Status Dokter PPDS
RSUP Hasan Sadikin Bandung. [Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pelaksanaan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) kembali tuai sorotan publik pasca terungkapnya kasus pemerkosaan oleh dokter residen anestesi di RSUP Hasan Sadikin (RSHS) kepada keluarga pasien.

Kasus itu tuai sorotan terhadap persoalan struktural dalam sistem rumah sakit pendidikan di Indonesia.

Pengamat Manajemen Kesehatan dr Puspita Wijayanti menyebutkan, kasus tersebut bukan hanya soal kelonggaran pengelolaan obat, tetapi juga menyingkap persoalan lama yang belum kunjung dibenahi dalam rumah sakit pendidikan di Indonesia.

Yakni, persoalan ambiguitas status peserta PPDS, antara posisi sebagai peserta didik dan fungsinya sebagai tenaga pelayanan.

Puspita menjelaskan bahwa secara hukum, dokter residen berstatus sebagai peserta pendidikan klinik lanjutan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan Permenkes No. 51 Tahun 2018 tentang Rumah Sakit Pendidikan.

"Mereka masuk ke rumah sakit bukan sebagai pegawai tetap, melainkan untuk menjalani rotasi pembelajaran praktik profesional. Namun dalam praktiknya, peserta PPDS bekerja layaknya tenaga medis penuh," kritik Puspita dalam keterangannya kepada Suara.com, dikutip Jumat (11/4/2025).

Puspita mengungkapkan bahwa kebanyakan peserta PPDS tidak memiliki status hukum sebagai pegawai, tetapi menjalankan fungsi pelayanan kritis.

Mereka juga tidak memiliki akses terhadap perlindungan kerja, tetapi dituntut berfungsi layaknya dokter definitif.

Menurutnya, posisi peserta didik harus terintegrasi dalam sistem SDM sebagai tenaga terbimbing, bukan dibiarkan sebagai entitas asing dalam struktur pelayanan.

Baca Juga: Murka Puan Maharani Soal Aksi Mesum Dokter Priguna: Pengkhianatan Serius Terhadap Etika Kemanusiaan!

Sehingga, selama dokter residen melayani pasien, maka setiap tindakan harus berada dalam kerangka supervisi formal, dengan struktur pelaporan, batasan klinis, dan sistem logbook yang diawasi.

"Tanpa itu, bukan hanya peserta yang rentan, tapi juga pasien, rumah sakit, dan integritas pelayanan publik," ujarnya.

Standar Akreditasi

Standar Akreditasi Rumah Sakit (KMK No. HK.01.07/MENKES/1596/2024) pun mewajibkan bahwa setiap tenaga yang berpartisipasi dalam pelayanan rumah sakit, termasuk peserta didik, harus memiliki kejelasan peran, kualifikasi, dan supervisi.

"Ketika sistem membiarkan mereka 'bekerja' tanpa skema otorisasi resmi, maka manajemen rumah sakit tidak hanya lalai, tapi juga membuka potensi pelanggaran etik, medis, dan hukum," kata Puspita.

Menurutnya, status ganda para dokter PPDS tidak boleh dianggap sebagai 'kewajaran' dalam dunia pendidikan klinis. Karena dalam dunia klinik, semua tindakan berkonsekuensi, dan semua akses memiliki risiko.

Dokter PPDS tersangka pemerkosaan berinisial Priguna Anugerah Pratama (PAP) saat dihadirkan dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Bandung, Rabu (9/4/2025). (ANTARA/Rubby Jovan)
Dokter PPDS tersangka pemerkosaan berinisial Priguna Anugerah Pratama (PAP) saat dihadirkan dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Bandung, Rabu (9/4/2025). (ANTARA/Rubby Jovan)

Sebelumnya diberitakan, seorang dokter residensi anestesi di RSHS dilaporkan melakukan rudapaksa terhadap keluarga pasien. Peristiwa itu terjadi pada 18 Maret 2025 silam, saat korban berinisial FH (21 tahun) sedang mendampingi ayahnya yang sedang dirawat secara intensif di RSHS.

Sebelum kejadian, FH diminta oleh pelaku, Priguna Anugerah Pratama (31) untuk melakukan transfusi darah di ruang 711 Gedung MCHC, lantai 7.

"Pelaku meminta korban menjalani transfusi darah tanpa didampingi keluarga di Gedung MCHC RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin) Bandung,” ujar Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Hendra Rochmawan, dikutip dari Antara, Rabu (9/4/2025).

Hendra mengungkapkan, korban dipaksa mengenakan pakaian operasi dan disuntik hingga sebanyak 15 kali, akibatnya korban kehilangan kesadaran.

Ketika terbangun sekitar pukul 04.00 WIB, korban mengalami rasa sakit di bagian intim saat buang air kecil. Korban kemudian melaporkan kejadian nahas yang dialaminya ke Direktorat Reskrimum Polda Jawa Barat.

Setelah dilakukan penyelidikan, pelaku ditangkap lima hari kemudian, 23 Maret 2025, di sebuah apartemen di Bandung.

"Jadi, pelaku setelah ketahuan itu sempat berusaha bunuh diri juga. Memotong urat-urat nadi," kata Dirkrimum Polda Jabar, Kombes Pol Surawan.

Masih menurut Kombes Surawan, ada indikasi pelaku memiliki kelainan perilaku seksual berdasarkan hasil pemeriksaan awal.

“Dari pemeriksaan beberapa hari ini memang kecenderungan pelaku ini mengalami sedikit kelainan dari segi seksual ya,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI