Menteri PPPA Desak Priguna Dihukum Berat: Tak Ada Satu pun Perempuan Pantas Alami Kekerasan Seksual!

Jum'at, 11 April 2025 | 11:48 WIB
Menteri PPPA Desak Priguna Dihukum Berat: Tak Ada Satu pun Perempuan Pantas Alami Kekerasan Seksual!
Menteri PPPA Desak Priguna Dihukum Berat: Tak Ada Satu pun Perempuan Pantas Alami Kekerasan Seksual! [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi turut menyoroti kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter residen anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. 

Arifah menekankan bahwa rumah sakit harusnya menjadi ruang publik yang aman bagi setiap orang, termasuk perempuan. Kejadian pemerkosaan itu pun menjadi pengingat kalau kasus kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja.

“Kejadian ini menjadi peringatan bagi masyarakat bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk ruang publik yang seharusnya menjadi tempat aman bagi kita semua. Tidak ada satu pun perempuan pantas menjadi korban kekerasan seksual," tegas Arifah kepada wartawan, Jumat (11/4/2025). 

Menurut Arifah, tersangka dapat dijerat Pasal 6 jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan pidana penjara hingga 12 tahun dan/atau denda hingga Rp300 juta. 

Menteri PPPA mendorong agar tersangka mendapatkan hukuman yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut agar memberikan efek jera, terlebih kekerasan seksual yang dialami oleh korban dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan atau dalam kondisi korban tidak berdaya.

Menteri PPPA Arifah Fauzi. (Suara.com/Lilis)
Menteri PPPA Arifah Fauzi. (Suara.com/Lilis)

“Ancaman pidana tersangka dapat ditambah sepertiga karena dilakukan oleh tenaga medis atau profesional dalam situasi relasi kuasa, atau mengakibatkan dampak berat bagi korban, termasuk trauma psikis, luka berat, atau bahkan kematian,” kata Arifah.

Arifah memastikan kalau Kementerian PPPA akan mengawal proses hukum dan pemulihan korban. Dia juga menekankan bahwa hak-hak korban harus terpenuhi secara menyeluruh. 

"Selain itu, kami juga mendorong penguatan sistem pencegahan dan respons di rumah sakit, kampus, dan institusi pelayanan publik lainnya,” ujarnya.

Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung saat ini telah memberikan layanan konseling dan pendampingan psikologis kepada korban dan melakukan koordinasi dengan Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Bandung sehingga saat ini pelaku sudah ditahan.

Baca Juga: Aksi Dokter Priguna Perkosa Keluarga Pasien Bisa Diampuni, Begini Desakan DPR ke Semua Rumah Sakit

Menteri PPPA pun mengajak masyarakat yang mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan untuk berani melapor ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh UU TPKS, seperti UPTD PPA, UPTD di bidang sosial, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian untuk mencegah jumlah korban bertambah banyak. Selain itu, masyarakat juga dapat melapor melalui hotline 'Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA)' 129 atau Whatsapp 08111-129-129.

Resmi Tersangka

Buntut dari aksi pemerkosaan terhadap keluarga pasien, Priguna kini meringkuk di penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat. Tersangka Priguna diduga menyuntikkan cairan bius ke tubuh korban melalui infus hingga korban tak sadarkan diri sebelum melakukan aksi bejatnya kepada wanita  dari keluarga pasien. 

Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Hendra Rochmawan menjelaskan, peristiwa pemerkosaan di RSHS Bandung itu terjadi pada 18 Maret 2025 di ruang nomor 711 Gedung MCHC RSHS sekitar pukul 01.00 WIB.

Saat itu, pelaku meminta korban berganti pakaian dengan baju operasi dan melepaskan seluruh pakaian sebelum akhirnya disuntik sebanyak 15 kali di bagian tangan.

Korban yang sedang mendampingi ayahnya yang dalam kondisi kritis di rumah sakit, diminta oleh tersangka untuk melakukan transfusi darah seorang diri tanpa ditemani pihak keluarga.

Usai sadar sekitar pukul 04.00 WIB, korban merasa nyeri saat buang air kecil, hingga akhirnya melaporkan dugaan pemerkosaan oleh dokter tersebut ke pihak kepolisian," katanya, dikutip dari Antara, Rabu (9/4/2025).

Idap Perilaku Seks Menyimpang?

Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jabar telah memeriksa 11 saksi, termasuk keluarga korban, tenaga medis, serta pegawai rumah sakit lainnya.

Penyidik juga menemukan barang bukti berupa alat kontrasepsi dan sisa sperma di tubuh korban. Sampel tersebut akan diuji melalui tes DNA untuk memastikan kecocokannya dengan DNA pelaku pemerkosaan di rumah sakit.

Direktur Reskrimum Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, menambahkan, ada indikasi kuat bahwa pelaku memiliki kelainan perilaku seksual. Pemeriksaan psikologi forensik akan dilakukan guna memperkuat temuan tersebut secara ilmiah.

Priguna Anugerah Pratama, dokter residen anestesi pelaku pemerkosaan keluarga pasien di Bandung, Jawa Barat. [X]
Priguna Anugerah Pratama, dokter residen anestesi pelaku pemerkosaan keluarga pasien di Bandung, Jawa Barat. [X]

"Pelaku sempat mencoba bunuh diri saat akan ditangkap pada 23 Maret 2025 di sebuah apartemen di Bandung. Ia kini telah resmi ditahan," jelas Surawan.

Dalam kasus ini, Priguna Anugerah Pratama dijerat Pasal 6 huruf c UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Unpad DO Dokter Cabul Priguna

Universitas Padjadjaran (Unpad) resmi memberhentikan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dari Fakultas Kedokteran yang bertugas di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Pemecatan itu setelah dokter Priguna Anugerah Pratama telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerkosaan.

Rektor Unpad, Prof Arief S. Kartasasmita, menyatakan bahwa keputusan pemutusan studi ini merupakan bentuk ketegasan kampus terhadap dugaan pelanggaran hukum dan norma oleh peserta PPDS.

Ia menegaskan bahwa Unpad tidak mentolerir segala bentuk pelanggaran, baik hukum maupun etika, dalam lingkungan pendidikan.

“Unpad sangat prihatin terhadap kasus ini. Sebagai institusi pendidikan, kami harus menjunjung tinggi nilai-nilai hukum dan moral. Karena itu, kami memberikan sanksi akademik berupa pemutusan studi kepada yang bersangkutan,” kata Prof Arief, dikutip dari Antara.

Meski proses hukum masih berjalan dan belum ada vonis dari pengadilan, Arief menegaskan bahwa Unpad memiliki cukup dasar untuk menjatuhkan sanksi.

Ia merujuk pada peraturan internal universitas yang memungkinkan pemberian sanksi kepada mahasiswa, dosen, atau tenaga kependidikan yang terlibat dalam tindakan pidana.

“Yang bersangkutan sudah tidak lagi berstatus sebagai mahasiswa Unpad. Ia juga tidak diperbolehkan melakukan kegiatan akademik di lingkungan kampus maupun di RSHS,” tegasnya.

Unpad juga menyatakan komitmennya dalam memberikan pendampingan terhadap korban. Selain itu, pihak kampus telah berkoordinasi dengan pihak RSHS dan kepolisian agar proses hukum terhadap dokter PPDS yang diduga melakukan pemerkosaan ini berjalan adil dan transparan.

“Kami turut menyesalkan kejadian ini dan menyampaikan empati kepada korban dan keluarganya. Kami berharap peristiwa seperti ini tidak terulang lagi,” ucap Prof Arief.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI