suara hijau

Sampah Lebaran: Masalah Lama, Belum Ada Solusi

Muhammad Yunus Suara.Com
Rabu, 09 April 2025 | 18:05 WIB
Sampah Lebaran: Masalah Lama, Belum Ada Solusi
Ilustrasi ChatGPT sampah menumpuk di jalan raya akibat pengelolaan dan perilaku warga yang buruk [Suara.com/Muhammad Yunus]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lebaran selalu membawa cerita indah. Silaturahmi, tawa keluarga, makanan melimpah.

Namun, di balik semua itu, ada satu cerita yang terus berulang setiap tahun dan kerap luput dari perhatian. Sampah yang menumpuk di mana-mana.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, momen Lebaran 2025 kembali mencatat lonjakan signifikan volume sampah di berbagai daerah.

Mulai dari kota besar seperti Jakarta dan Palembang, hingga daerah wisata seperti Mataram dan Cianjur.

Semua menghadapi persoalan yang sama—sampah melimpah, armada kewalahan, dan pengelolaan yang belum sepenuhnya efektif.

Jakarta dan Banten: Arah Baru Kolaborasi

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Gubernur Banten Andra Soni baru saja duduk bersama membahas sejumlah persoalan krusial.

Salah satunya adalah soal sampah yang tak mengenal batas administratif.

Keduanya sepakat bahwa sampah, kemacetan, dan banjir bukan hanya soal lokal, melainkan persoalan bersama.

Baca Juga: 52 Kasus Serangan Buaya, 9 Nyawa Melayang: Apa yang Terjadi di Kotawaringin Timur?

Maka kolaborasi menjadi kunci. Jakarta menawarkan teknologi seperti aplikasi JAKI agar bisa dimanfaatkan di wilayah Banten.

Di balik itu, tampak ada semangat untuk saling berbagi solusi. Namun tentu saja, teknologi bukan segalanya jika tidak dibarengi dengan perubahan perilaku.

Palembang: Sampah Melonjak 50 Persen

Di Palembang, angka tak pernah berbohong. Selama momen Lebaran 2025, produksi sampah harian naik dari 1.240 ton menjadi 1.600 ton per hari. Lonjakan sekitar 50 persen.

Dominasi sampah organik menandakan konsumsi makanan masyarakat meningkat drastis. Namun pengelolaan belum bisa mengimbangi kecepatan produksi.

Meski sudah ada 1.200 petugas kebersihan dan 136 armada, kenyataannya tidak semua sampah bisa langsung ditangani.

Sebagian besar tetap berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang dalam jangka panjang bisa menjadi bom waktu jika tak ada inovasi serius dalam pemilahan dan daur ulang.

Cianjur: Sampah Belum Terpilah, Armada Terbatas

Di Kabupaten Cianjur, cerita serupa terjadi. Volume sampah naik hingga 120 ton per hari selama libur Lebaran.

Mayoritas sampah merupakan sisa dapur organik, namun sayangnya tidak dipilah.

Mirisnya, dari 18 armada pengangkut, hanya 14 unit yang bisa beroperasi. Empat lainnya rusak.

Upaya sosialisasi pemilahan sampah memang digencarkan, namun kendala klasik kembali muncul.

Perilaku warga yang membuang sampah tidak sesuai waktu, dan infrastruktur yang belum memadai.

Bali: Teba Modern, Simbol Harapan Baru

Sementara itu, Bali mencoba pendekatan berbeda. Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 menekankan pentingnya pengolahan sampah berbasis sumber.

Artinya, setiap orang bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan.

Salah satu langkah konkret adalah membangun teba modern, yaitu lubang penampung sampah organik khas Bali yang kini diadaptasi menjadi sistem kompos mini.

Seluruh kantor dinas dan sekolah diminta memilikinya. Biaya pembuatannya relatif murah, hanya sekitar Rp3 juta untuk dua unit.

Ini bukan soal anggaran, melainkan komitmen dan konsistensi.

Namun, seperti diingatkan Sekda Bali Dewa Indra, jangan sampai teba modern hanya jadi pajangan.

Tanpa literasi kepada pegawai dan kesadaran kolektif, solusi fisik seperti ini bisa berubah jadi solusi palsu.

Temanggung: Sampah Tetap Meningkat Meski Sudah Diantisipasi

Di Temanggung, kenaikan volume sampah mencapai 60 ton per hari selama libur Lebaran.

Padahal sosialisasi sudah dilakukan—masyarakat diminta membawa kantong daur ulang, mengurangi plastik, dan membatasi sampah.

Namun hasilnya belum signifikan. Dari 120 ton naik jadi 180 ton per hari. Ada peningkatan kesadaran, tapi belum cukup masif untuk membendung gelombang konsumsi tahunan yang meledak saat Lebaran.

Mataram: Liburan dan Sampah, Dua Hal yang Selalu Beriringan

Kota Mataram menghadapi tantangan khas daerah wisata. Pada puncak perayaan Lebaran Ketupat 2025, volume sampah melonjak hingga 39 ton dalam sehari.

Hanya dari kawasan wisata seperti pantai. Ini tiga kali lipat dari volume sampah saat pawai Ogoh-Ogoh sebelumnya.

Faktor utamanya? Aktivitas makan bersama, konsumsi massal, dan pedagang dadakan.

Untungnya, kerja sama antara Dinas Lingkungan Hidup dan Pokdarwis (kelompok sadar wisata) cukup efektif.

Pokdarwis mengumpulkan sampah, DLH tinggal angkut. Model kolaboratif semacam ini patut dicontoh.

Mencari Jalan Tengah: Solusi Renyah, Bukan Rumit

Dari berbagai daerah, pola persoalannya hampir serupa. Sampah naik signifikan saat hari besar.

Pengelolaan belum optimal, dan kesadaran masyarakat masih rendah.

Namun dari sini pula kita belajar bahwa solusi bisa hadir dari berbagai pendekatan.

Seperti penggunaan teknologi, infrastruktur sederhana, kolaborasi komunitas, dan pemilahan dari sumber.

Mengelola Lebaran, Mengelola Sampah

Lebaran bukan hanya momen kemenangan spiritual, tapi juga uji coba besar bagi sistem pengelolaan sampah kita.

Apakah kita bisa menangani lonjakan volume? Apakah sistem kita cukup fleksibel untuk menyesuaikan saat darurat konsumsi terjadi?

Dari Jakarta sampai Mataram, dari teba modern hingga tumpukan TPA, satu hal jadi jelas. Pengelolaan sampah adalah urusan semua orang.

Jika Lebaran bisa jadi ajang mempererat silaturahmi, semestinya bisa juga jadi ajang memperkuat komitmen kita pada lingkungan.

Karena pada akhirnya, sampah bukan soal kotoran. Ia adalah cermin dari gaya hidup dan tanggung jawab bersama.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI