Suara.com - Setelah mendapat tekanan serta meningkatnya kekhawatiran akan potensi tuntutan hukum di forum global, militer Israel akhirnya dilaporkan mulai mempertimbangkan kembali untuk membuka jalur distribusi bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Langkah ini menyusul blokade ketat selama lebih dari seminggu yang menyebabkan krisis kemanusiaan di wilayah tersebut mencapai titik nadir.
Melansir ANTARA, Harian Yedioth Ahronoth dalam laporan terbarunya pada Senin mengungkapkan bahwa Israel kemungkinan besar akan mulai mengizinkan pengiriman kembali bantuan dalam beberapa minggu ke depan, bahkan dalam situasi tertentu bisa lebih cepat.
Keputusan ini diyakini tidak hanya dilandasi oleh tekanan moral dan politik dari komunitas internasional, tetapi juga oleh kekhawatiran akan implikasi hukum yang bisa menyeret para pejabat tinggi Israel ke hadapan pengadilan internasional.
Dengan semakin memburuknya kondisi di Gaza mulai dari kelangkaan pangan, air bersih, obat-obatan, hingga listrik serta penundaan lebih lanjut dalam pengiriman bantuan bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis.
Wacana pembukaan kembali akses bantuan ini pun disambut dengan harapan oleh berbagai organisasi kemanusiaan dunia, meskipun mereka masih menaruh curiga terhadap kepastian implementasinya di lapangan.
Bagi warga Gaza yang selama ini terjebak dalam situasi nyaris tanpa jalan keluar, kabar ini menjadi setitik harapan di tengah gelapnya konflik yang belum juga menunjukkan tanda-tanda usai.
Menurut surat kabar tersebut, komandan militer dan anggota parlemen Israel membahas kebutuhan mendesak untuk melanjutkan pasokan makanan ke Gaza
"untuk menghindari pelanggaran hukum internasional yang dapat melibatkan tokoh militer dan politik terkemuka, khususnya mereka yang berada di Komando Selatan IDF (tentara),"
Baca Juga: Puluhan Visa Mahasiswa Dicabut AS di Tengah Gelombang Aksi Bela Palestina
Harian tersebut mengatakan militer berencana untuk meluncurkan program percontohan, kemungkinan besar di Rafah, Gaza selatan, dalam beberapa bulan mendatang, berkoordinasi dengan organisasi bantuan internasional, tetapi tanpa peran apa pun bagi kelompok Palestina Hamas.
Mengomentari laporan tersebut, tentara Israel mengatakan bahwa mereka bertindak sesuai dengan perintah dari pimpinan politik.
“Israel tidak mentransfer dan tidak akan mentransfer bantuan apa pun ke Hamas,” imbuhnya.
Sejak 2 Maret 2025, krisis kemanusiaan di Jalur Gaza mencapai titik yang paling mengkhawatirkan setelah Israel secara total menutup perlintasan perbatasan dan menghentikan aliran bantuan kemanusiaan, pertolongan darurat, serta pasokan medis ke wilayah tersebut.
Penutupan ini menciptakan penderitaan massal yang belum pernah terjadi sebelumnya, menurut laporan dari pemerintah daerah Gaza dan sejumlah lembaga hak asasi manusia internasional.
Rumah sakit kehabisan obat-obatan, makanan menjadi sangat langka, dan akses terhadap air bersih pun nyaris tidak tersedia bagi lebih dari dua juta penduduk Gaza yang terperangkap dalam situasi darurat.
Tragisnya, blokade ini merupakan bagian dari operasi militer baru yang dilancarkan Israel sejak 18 Maret lalu, yang telah merenggut nyawa hampir 1.400 warga Palestina dan melukai lebih dari 3.400 lainnya.
Serangan itu terus berlanjut meskipun sebelumnya telah disepakati gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan, yang seharusnya menjadi titik awal menuju deeskalasi konflik.
Kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: eskalasi kekerasan meningkat dan krisis kemanusiaan semakin dalam.
Situasi ini memicu kecaman luas dari berbagai organisasi kemanusiaan dunia, yang menyerukan agar Israel segera membuka jalur bantuan dan menghormati prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang telah disepakati dalam hukum internasional.

Pekan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjanji untuk meningkatkan serangan terhadap Gaza di tengah upaya untuk melaksanakan rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusir warga Palestina dari daerah kantong tersebut.