Suara.com - Pemerintahan Trump kembali menjadi sorotan internasional setelah mencabut visa puluhan mahasiswa dari sejumlah universitas terkemuka di Amerika Serikat, termasuk UCLA, Berkeley, Stanford, dan Columbia.
Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari tindakan keras terhadap aktivisme pro-Palestina yang kian menggema di kampus-kampus ternama AS.
Rektor UCLA, Julio Frenk, dalam sebuah pernyataan resmi, mengungkapkan bahwa Program Pertukaran Pelajar dan Pengunjung (Student and Exchange Visitor Program) telah mengakhiri status visa mahasiswa aktif serta enam mantan mahasiswa yang sebelumnya terdaftar dalam program pelatihan karier.
"Pemberitahuan pencabutan tersebut menunjukkan bahwa semua penghentian itu disebabkan oleh pelanggaran ketentuan program visa individu," kata Frenk, seraya menambahkan bahwa pencabutan visa baru-baru ini di UCLA menimbulkan kekhawatiran bagi komunitas kampus tersebut yang juga terjadi di universitas-universitas di seluruh negeri.
University of California, Berkeley mengumumkan bahwa enam mahasiswa telah dicabut visa F-1-nya oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri dan diperintahkan untuk meninggalkan negara itu minggu ini. Demikian pula Universitas Stanford, yang mengatakan empat mahasiswa dan dua lulusan baru juga telah dicabut visanya.
Melansir ANTARA, menurut surat kabar mahasiswa Columbia Spectator, visa empat mahasiswa internasional di Universitas Columbia juga dicabut.
Pencabutan visa itu menyusul gelombang penangkapan mahasiswa internasional di seluruh AS pada Maret.
Langkah pemerintahan Trump dalam mencabut visa puluhan mahasiswa dari universitas ternama seperti UCLA, Stanford, Berkeley, dan Columbia kian menuai kontroversi, terutama karena dalih hukum yang digunakan.
Dalam pernyataannya, pemerintah mengutip pasal dalam undang-undang imigrasi yang memungkinkan deportasi terhadap individu yang dinilai memiliki "dampak buruk yang serius terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat."
Baca Juga: Minta Kuota Impor Dihapus, Prabowo: Siapa yang Mampu, Siapa yang Mau Impor, Silakan
Alasan ini dinilai sangat politis dan lentur, sehingga membuka ruang luas bagi interpretasi yang bisa merugikan kebebasan sipil.

Dalam konteks ini, para mahasiswa yang secara vokal menyuarakan dukungan terhadap Palestina dituding sebagai ancaman terhadap kepentingan luar negeri AS, sebuah narasi yang dinilai tidak hanya berlebihan, tetapi juga merusak nilai-nilai demokrasi dan akademik yang dijunjung tinggi oleh lembaga pendidikan di negeri itu.
Penggunaan instrumen hukum imigrasi sebagai alat penekan aspirasi politik mahasiswa dianggap sebagai preseden berbahaya, yang bisa berdampak pada maraknya pembungkaman terhadap suara-suara kritis lainnya di masa depan.
Akademisi, pengacara HAM, dan pegiat pendidikan tinggi pun mulai bersuara, menilai bahwa pendekatan ini lebih mencerminkan paranoia politik dibandingkan pertimbangan keamanan nasional yang objektif.
Mahasiswa Columbia Mahmoud Khalil dan mahasiswa Tufts Rumeysa Ozturk baru-baru ini ditahan karena sikap pro-Palestina mereka. Mahasiswa pascasarjana Georgetown Badar Khan Suri juga ditahan atas tuduhan serupa.
Mahasiswa telah berdemonstrasi dan menyuarakan pendapat mereka terhadap perang Israel di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 50.000 orang sejak 7 Oktober 2023 dan menghancurkan daerah kantong itu.
Menurut Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, sekitar 300 visa pelajar telah dicabut.
Kebijakan ini langsung memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak, baik dalam negeri maupun komunitas internasional.
Banyak yang menilai bahwa keputusan tersebut merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan hak untuk menyuarakan solidaritas terhadap Palestina.
Di tengah eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah, mahasiswa internasional yang selama ini dikenal aktif dalam menyuarakan isu HAM dan keadilan global kini justru menjadi sasaran tindakan represif.
Kebijakan ini juga dinilai mencederai reputasi universitas-universitas AS sebagai tempat tumbuhnya diskursus intelektual dan pluralisme.
Sementara itu, berbagai organisasi hak asasi manusia dan lembaga akademik mulai mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan ini, dengan alasan bahwa pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi keberagaman pandangan, bukan medan represif terhadap aspirasi politik mahasiswa.