Meniru langkah Taiwan dengan serta-merta menawarkan konsesi besar di awal justru dinilainya dapat melemahkan posisi tawar Indonesia yang sesungguhnya lebih kuat di area-area tertentu.
"Oleh karena itu, respons Indonesia haruslah terkalkulasi, tidak sekadar reaktif meniru langkah negara lain. Fokus utama harus tetap pada bagaimana mengonversi keunggulan unik tersebut menjadi daya tawar konkret dalam sebuah kerangka negosiasi 'beri dan ambil' (give and take) yang dirancang secara cerdas dan spesifik," ungkapnya.
Merancang Paket 'Win-win'
Nur menyebut kunci keberhasilan negosiasi dengan pemerintahan yang pragmatis seperti yang dipimpin Trump adalah kemampuan merancang paket kesepakatan yang jelas-jelas menguntungkan kedua belah pihak secara konkret.
Diplomasi konvensional dan retorika persahabatan, kata dia, perlu dilengkapi dengan proposal 'beri dan ambil' atau give and take yang spesifik dan terukur.
Sebagai contoh, Indonesia menurut Nur bisa secara proaktif menawarkan paket investasi terintegrasi di sektor baterai kendaraan listrik.
Seperti memberikan kemudahan bagi perusahaan AS untuk berinvestasi di smelter nikel atau pabrik baterai, dengan jaminan pasokan bahan baku dan insentif fiskal.

"Sebagai imbalannya, Indonesia meminta agar produk turunan nikel tersebut dan mungkin beberapa produk ekspor andalan lainnya (misalnya tekstil berkualitas tinggi atau furnitur dengan desain unik) mendapatkan tarif preferensial atau dibebaskan dari tarif tambahan," tuturnya.
Contoh lain, Indonesia bisa juga memberikan fasilitasi impor produk pertanian atau teknologi kesehatan AS yang dibutuhkan pasar Indonesia.
Baca Juga: Saran Rocky Buat Prabowo 'Lawan' Tarif Trump: Kuatkan Diplomasi, Jadikan Dino Patti Djalal Dubes
Dengan adanya tawaran itu, tentunya dapat ditukar dengan perlakuan serupa untuk produk perikanan atau kerajinan Indonesia di pasar AS.