Lebih 50 Negara Protes Tarif Impor AS, Minta Negosiasi

Tasmalinda Suara.Com
Senin, 07 April 2025 | 19:43 WIB
Lebih 50 Negara Protes Tarif Impor AS, Minta Negosiasi
Lebih 50 negara protes tarif impor AS minta negosiasi
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lebih dari 50 negara dikabarkan telah menjalin komunikasi langsung dengan Washington dalam upaya menegosiasikan pencabutan tarif impor baru yang diberlakukan oleh Amerika Serikat.

Hal ini diungkapkan oleh seorang pejabat Gedung Putih yang menyebut bahwa gelombang permintaan negosiasi tersebut menunjukkan betapa luas dan seriusnya dampak kebijakan perdagangan terbaru AS terhadap perekonomian global.

"Saya mendapat laporan dari (Perwakilan Dagang AS) tadi malam bahwa sudah lebih dari 50 negara berkomunikasi dengan presiden kita untuk meminta negosiasi," ucap Ketua Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih Kevin Hassett, melansir ANTARA.

Negara-negara mitra dagang dari berbagai belahan dunia disebut mulai merasakan tekanan akibat lonjakan biaya masuk barang ke pasar AS, yang berpotensi memukul sektor industri dan ekspor mereka.

Dalam situasi ini, Gedung Putih kini berada dalam posisi strategis, dengan banyak negara berharap agar Washington bersedia membuka ruang dialog untuk meredakan ketegangan dagang yang sedang memanas.

Dalam wawancara eksklusif bersama George Stephanopoulos dalam program This Week di ABC News, penasihat ekonomi Gedung Putih, Kevin Hassett, mengungkap dinamika di balik kebijakan tarif impor baru yang memicu reaksi global.

Ia menyebut banyak negara memang marah dan mulai melakukan aksi balasan, namun pada saat yang sama, mereka justru menunjukkan kesediaan untuk duduk di meja perundingan.

"Mereka datang karena sadar, merekalah yang paling terbebani oleh tarif ini," ujar Hassett dengan nada tegas.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers usai pertemuan dengan pelaku usaha di Kantor Kemenko Perekonomian
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers usai pertemuan dengan pelaku usaha di Kantor Kemenko Perekonomian

Menurutnya, dampak terhadap konsumen Amerika Serikat tidak akan signifikan karena negara-negara tersebut memiliki pasokan barang yang tidak elastis, sementara AS selama ini mengalami defisit perdagangan kronis.

Baca Juga: Besok Prabowo Umumkan Sikap RI Soal Tarif Impor Trump

Pernyataan Hassett menggarisbawahi strategi pemerintahan saat ini yang tampaknya sengaja menekan mitra dagang melalui kebijakan tarif guna memaksa pembaruan perjanjian yang dianggap lebih menguntungkan bagi ekonomi domestik AS.

Sementara itu, mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat, Lawrence Summers, menyampaikan pandangan yang jauh lebih kritis terhadap kebijakan tarif impor yang diberlakukan pemerintah.

Ia menegaskan bahwa tarif bukanlah solusi jangka panjang, melainkan justru menjadi beban baru bagi perekonomian nasional.

Menurut Summers, dampak paling nyata dari kebijakan ini adalah kenaikan harga barang-barang konsumsi, yang secara langsung mendorong inflasi melonjak.

Akibatnya, daya beli masyarakat terganggu, terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang paling rentan terhadap fluktuasi harga.

Ia pun memperingatkan bahwa tekanan inflasi ini akan berujung pada penurunan konsumsi domestik, memicu perlambatan ekonomi, dan pada akhirnya mengancam stabilitas pasar tenaga kerja.

"Ketika orang tak lagi bisa belanja seperti biasa, permintaan akan turun, dan itu berarti pekerjaan pun akan ikut menghilang," ujar Summers dengan nada prihatin.

Pandangan ini menyoroti dilema besar yang dihadapi kebijakan ekonomi proteksionis—yaitu potensi keuntungan jangka pendek bagi sektor tertentu yang dibayar mahal dengan risiko kerugian luas bagi ekonomi nasional secara keseluruhan.

Muncul Aksi Penolakan Kebijakan Trump

Ribuan orang pada Sabtu (5/4) berkumpul di pusat kota untuk memprotes perubahan besar-besaran yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Elon Musk terhadap pemerintah federal negara itu.

Aksi tersebut merupakan bagian dari kampanye "Hands Off", yang memobilisasi lebih dari 1.200 peserta aksi unjuk rasa di semua negara bagian AS, yang berjumlah 50 negara bagian, maupun kota-kota di luar negeri, seperti di Kanada, Meksiko, dan beberapa wilayah di Eropa.

Para pengunjuk rasa berkumpul di Pershing Square, mengecam apa yang mereka sebut sebagai "serangan terhadap keluarga, pekerjaan, layanan kesehatan, dan jaminan sosial" oleh pemerintahan Trump dan Departemen Efisiensi Pemerintah AS (DOGE), yakni departemen baru yang dikepalai oleh Musk dan bertujuan untuk merampingkan badan-badan federal.

"Hanya kekuatan rakyat yang dapat menghentikan mereka sekarang," kata Brad K. dari Altadena kepada Xinhua dalam unjuk rasa tersebut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI