Suara.com - Komnas Perempuan mendesak peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan petugas layanan dalam mengidentifikasi kasus femisida.
Menurut Maria, upaya tersebut sangat diperlukan agar aparat mampu membangun deteksi terhadap tingkat bahaya pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
"Kapasitas ini dibutuhkan agar saat mengidentifikasi korban dapat menggali fakta terkait faktor-faktor seperti relasi kuasa, rentetan bentuk kekerasan, ancaman, dan upaya manipulasi yang dilakukan pelaku, atau kekerasan seksual," kata Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor dalam keterangannya, Senin (7/4/2025).
Komnas Perempuan mencatat bahwa jumlah femisida hingga saat ini masih tinggi, namun masih minim dikenali.
Salah satunya kasus pembunuhan jurnalis berinisial J di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, oleh oknum anggota TNI.
Maria menjelaskan bahwa dalam kasus tersebut indikasi femisida sangat kuat, yakni adanya pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender yang dialami sebelumnya oleh korban.
Menurut Maria, penanganan femisida ini perlu jadi tugas lintas sektoral.
Misalnya, dia menyarankan kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Kepolisian Republik Indonesia, dan Badan Pusat Statistik, untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan data statistik tentang femisida sebagai pelaksanaan dari Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 Tahun 2017 sementara sebelum terbentuk Mekanisme Pengawasan Femisida.
Panglima Tinggi TNI juga diminta untuk mendukung upaya melawan impunitas pada pelaku pelanggaran pidana umum, termasuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang dilakukan oleh prajurit TNI, seperti kasus pembunuhan J.
Baca Juga: Kasus Pembunuhan Jurnalis J di Banjarbaru, Bukti Femisida Intim Semakin Brutal
Kemudian, Menteri Hukum dan Menteri HAM segera melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga guna mewujudkan regulasi dan perlindungan terhadap perempuan pembela HAM (PPHAM).