Kini, banyak warga daerah lebih memilih membangun usaha kecil atau bekerja di kota asal mereka yang biaya hidupnya jauh lebih terjangkau.
Yayat mengingatkan bahwa bagi mereka yang tetap berkeinginan merantau ke Jakarta, harus benar-benar memiliki rencana dan strategi yang matang. Datang tanpa bekal keterampilan atau tanpa persiapan hanya akan memperbesar risiko kegagalan.
"Kalau mereka lulusan di bawah SLTA atau SLTA, mereka harus bersaing dengan 300.000 sampai 400.000 pencari kerja lain. Jadi, harus ada skill yang mereka bawa dari daerah. Jangan sampai datang tanpa rencana, akhirnya hanya menambah jumlah pengangguran di kota," katanya.
Lebih dari itu, Yayat juga menyoroti pentingnya memahami budaya perkotaan. Ia menegaskan bahwa menjadi warga kota bukan hanya soal pindah tempat tinggal, tetapi juga soal membawa sikap dan perilaku yang tertib dan disiplin.
"Kalau mau masuk Jakarta, dia juga harus memahami budaya berkota. Jangan dari kampung sudah buang sampah sembarangan, lalu di Jakarta malah tambah parah. Ini bukan hanya soal pindah lokasi, tapi juga kesiapan menjadi warga kota yang baik," tegasnya.
Fenomena ini seolah menguatkan bahwa Jakarta bukan lagi ‘kota impian’ bagi semua orang. Banyak yang kini lebih realistis, memilih tempat yang lebih nyaman, lebih sehat, dan lebih terjangkau untuk menjalani hidup.
Ibu Kota bukan lagi satu-satunya magnet, dan mungkin, ini saatnya kota-kota lain bersiap menjadi tujuan baru para perantau. Meskipun urbanisasi terus terjadi, namun perkembangan ekonomi digital pastinya juga memberikan pengaruh tersendiri.