Desak DPR Tak Buru-buru soal RUU KUHAP, Koalisi Masyarakat Sipil Beberkan 9 Poin Catatan Krusial

Kamis, 03 April 2025 | 22:41 WIB
Desak DPR Tak Buru-buru soal RUU KUHAP, Koalisi Masyarakat Sipil Beberkan 9 Poin Catatan Krusial
Koalisi Masyarakat Sipil Desak 8 Poin Krusial Diperhatikan di RUU KUHAP. (Suara.com/Bagaskara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP membeberkan masih banyak catatan yang harus disoroti dalam Revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Komisi III DPR pun diminta untuk tidak terburu-buru dalam pembahasannya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai Draft RUU KUHAP yang dipublikasikan DPR (versi 20 Maret 2025) masih memiliki banyak catatan,” kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (3/4/2025).

Menurutnya, RUU KUHAP belum bisa menjawab akar masalah dalam praktik sehari-hari KUHAP saat ini (UU Nomor 8/1981) yang tidak akuntabel, tidak adil dan tidak memihak pada kepentingan hak-hak warga negara. 

Ia mengatakan, jika masih banyak materi yang harus dibahas secara mendalam agar tak berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dalam proses peradilan pidana.

“Sedangkan di sisi lain, DPR terkesan buru-buru dalam membahas RUU KUHAP. Menurut Ketua Komisi III DPR RI, target pembahasan RUU KUHAP tidak akan melebihi 2 (dua) kali masa sidang, sehingga paling lama akan disahkan sekitar Oktober-November 2025,” ujarnya.

RUU KUHAP sendiri, kata dia, secara keseluruhan memuat sebanyak 334 pasal dengan rincian total daftar inventarisasi masalah yang perlu dibahas sebanyak 1570 pasal/ayat pada bagian batang tubuh dan 590 pasal/ayat pada bagian penjelasan

Akan tak masuk akal, menurutnya, jika DPR melakukan pembahasan hanya dengan waktu yang singkat.

“Dengan demikian, tidak masuk akal jika pembahasan terhadap RUU KUHAP dilakukan secara mendalam hanya dalam beberapa bulan,” katanya.

Adapun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mencatat sembilan masalah krusial yang seharusnya diselesaikan dalam RUU KUHAP. 

Baca Juga: Mulai Digeber Sehabis Lebaran, DPR Ancang-ancang Bentuk Panja Revisi KUHAP

Pertama, kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel.

“Perlu ada jaminan bahwa korban dapat mengajukan keberatan kepada Penuntut Umum atau Hakim apabila laporan atau aduan tindak pidana tidak ditindaklanjuti oleh Penyidik,” katanya.

Kemudian yang ke dua, mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan ketersedian forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat. 

“Harus ada jaminan bahwa seluruh upaya paksa dan tindakan lain penyidik dan penuntut umum harus dapat diuji ke pengadilan dalam mekanisme keberatan dengan mekanisme pemeriksaan yang substansial untuk mencari kebenaran materil dari dugaan pelanggaran ketimbangan pemeriksaan administrasi kelengkapan persuratan,” ujarnya. 

Lalu berikutnya, pembaruan pengaturan standar pelaksanaan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan yang objektif dan berorientasi pada perlindungan HAM.

Ia mengatakan, perlu ada jaminan bahwa seluruh tindakan tersebut harus dengan izin pengadilan sedangkan pengecualian untuk kondisi mendesak tanpa izin pengadilan diatur secara ketat, serta dalam waktu maksimal 48 jam pasca orang ditangkap harus dihadapkan secara fisik ke muka pengadilan untuk dinilai bagaimana perlakuan aparat yang menangkap dan apakah dapat selanjutnya perlu penahanan.

“Keempat, prinsip keberimbangan dalam proses peradilan pidana antara negara (penyidik-penuntut umum) dengan warga negara termasuk advokat yang mendampingi,” tuturnya.

Ia menegaskan, harus ada jaminan peran advokat yang diperkuat dalam melakukan fungsi pembelaan terutama pemberian akses untuk mendapatkan atau memeriksa semua berkas/dokumen peradilan dan bukti-bukti memberatkan, perluasan pemberian bantuan hukum yang dijamin oleh negara dan pemberian akses pendampingan hukum tanpa pembatasan-pembatasan, hingga perlu meluruskan definisi advokat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

Kelima, akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan yang diawasi (controlled delivery).

Menurutnya  diperlukan adanya pembatasan jenis-jenis tindak pidana pidana yang dapat diterapkan dengan teknik investigasi khusus, syarat dapat dilakukannya kewenangan ini, serta jaminan bahwa kewenangan ini harus berbasis izin pengadilan. Kewenangan ini tidak boleh dilakukan pada penyelidikan, tidak boleh penyidik yang menginisiasi niat jahat melakukan tindak pidana.

Suasana FGD dengan tema "Konflik dan Carut Marut Penegakan Hukum dalam RUU KUHAP. Sinergi atau Hegemoni Kekuasaan ? " di Auditorium LT 2 SBSN IAIN Kudus beberapa waktu lalu.
Suasana FGD dengan tema "Konflik dan Carut Marut Penegakan Hukum dalam RUU KUHAP. Sinergi atau Hegemoni Kekuasaan ? " di Auditorium LT 2 SBSN IAIN Kudus beberapa waktu lalu.

“Keenam, sistem hukum pembuktian, perlu definisi bukti tanpa mengotak-kotakkan alat bukti dan barang bukti serta memastikan unsur relevansi dan kualitas bukti, memastikan adanya prosedur pengelolaan setiap jenis/bentuk bukti, serta harus ada jaminan “alasan yang cukup"," katanya. 

Secara spesifik pada masing-masing kebutuhan tindakan bukan hanya mengacu pada 2 (dua) alat bukti di awal untuk terus menerus digunakan sebagai alasan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan lainnya.

Lalu yang ketujuh, batasan pengaturan tentang sidang elektronik, perlu ada definisi mengenai “keadaan tertentu” di mana sidang elektronik dapat dilakukan tanpa mengurangi esensi dari upaya pencarian kebenaran materiil dan untuk menghindarkan dari penjatuhan putusan yang bias, keliru, dan merugikan para pihak dalam persidangan. 

“Serta jaminan agar sidang elektronik tidak dijadikan alasan untuk membatasi akses publik termasuk keluarga korban maupun terdakwa untuk berada dalam platform komunikasi audio visual guna menyaksikan jalannya pemeriksaan,” tuturnya. 

Kedelapan, akuntabilitas dalam penyelesaian perkara di luar persidangan, harus ada perbaikan konsep restorative justice yang saat ini hanya dipahami sebagai penghentian perkara.

“Jaminan bahwa mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan yang tersedia nantinya dapat dilakukan pada tahap pasca penyidikan, saat fakta tindak pidana sudah disepakati pada pihak, akuntabilitas harus dijamin untuk mencegah terjadinya praktik-praktik transaksional dan pengancaman/pemerasan,” ucapnya.

Terakhir, penguatan hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, dan korban, perlu ada kejelasan mekanisme restitusi sebagai bentuk pemulihan kerugian korban mulai dari proses pengajuan hingga pembayaran dana diterima korban. 

“Jaminan adanya pasal-pasal operasional agar hak-hak hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, dan korban dapat diakses secara efektif dalam praktik termasuk pihak-pihak yang dibebani kewajiban pemenuhan hak, mekanisme untuk melaporkan dugaan pelanggaran hak-hak hingga konsekuensi-konsekuensi jika terbukti hak-hak tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI