Tanpa SKK, jurnalis asing tetap bisa melaksanakan tugas di Indonesia selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebabnya, pemberitaan yang menggunakan kata "wajib" dalam konteks ini tidak tepat, lantaran dalam Perpol tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan SKK itu bersifat wajib.
“SKK diterbitkan hanya jika ada permintaan dari penjamin,” jelasnya.
Jika seorang jurnalis asing akan melakukan kegiatan di wilayah yang rawan konflik, penjamin dapat mengajukan permintaan SKK kepada Polri dan juga meminta perlindungan karena bertugas di wilayah yang rawan konflik.
"Jadi, yang berhubungan langsung dengan Polri dalam penerbitan SKK ini adalah pihak penjamin, bukan WNA atau jurnalis asingnya,” pungkasnya.
UU Penyiaran merupakan salah satu regulasi penting yang mengatur penyebaran informasi melalui media elektronik di Indonesia. Mengingat perkembangan teknologi dan pergeseran preferensi masyarakat dari media konvensional ke digital, diperlukan revisi undang-undang agar sesuai dengan kondisi terkini. Namun, dalam RUU Penyiaran itu ada beberapa pasal kontroversial yang ditentang banyak pihak.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran yang saat ini tengah dibahas di DPR RI menjadi perhatian utama karena mencakup penyiaran konvensional dan digital. Perlu diketahui, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran saat ini sedang diproses di DPR RI. Draf RUU ini tidak hanya mencakup penyiaran konvensional seperti TV dan radio, tetapi juga penyiaran digital.

Poin-Poin Kontroversial Revisi UU Penyiaran
Baca Juga: 20 Persen Warga Tak Mudik, Kapolri Prediksi Bakal Ada Lonjakan Volume Kendaraan saat Hari H Lebaran
Revisi Undang-Undang Penyiaran ini memang menimbulkan kekhawatiran di kalangan organisasi jurnalis dan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa pasal dalam draf revisi tersebut yang dianggap dapat mengancam kebebasan pers.