Sahroni menganggap pernyataan KPK yang akan menerapkan lex spesialis terkait penyadapan justru akan menjadi polemik. "Itu pasti akan menjadi polemik baru kalau KUHAP sudah ada masih pakai yang lama, semua harus ikut KUHAP dasarnya, di mana UU selalu pakai yang terakhir bilamana ada perubahan," tuturnya.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak sebelumnya menjelaskan bahwa pihaknya akan berpedoman pada UU KPK dalam melakukan penyadapan, bukan RKUHP jika nanti disahkan.
“Dalam melaksanakan tugasnya, KPK diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019,” kata Johanis kepada wartawan, Senin (24/3/2025).
Tanak juga mengatakan KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani kasus korupsi di Indonesia. Dengan begitu, Lembaga Antirasuah tidak mengikuti KUHAP, melainkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
“Penyadapan yang diatur dalam KUHAP lebih bersifat umum karena dapat dilakukan dalam perkara tindak pidana apa saja,” ujar Tanak.
Menurut dia, aturan perihal penyadapan dalam KUHAP lebih untuk penyidik Polri. Namun, KPK dipastikan tidak terpengaruh dengan perubahan yang diinginkan oleh pemangku kepentingan saat ini.
“Dengan demikian, berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis, KPK dapat saja melakukan penyadapan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tanpa perlu mengikuti ketentuan yang diatur dalam KUHAP,” tutur Tanak.
Dalam draft RKUHAP yang sudah bisa diakses publik, sejumlah aturan diubah oleh pemangku kepentingan, salah satunya soal aturan main dalam penyadapan.
Adapun aturan penyadapan dalam draf RUU KUHAP itu tercantum pada pasal 124 hingga 128. Dalam pasal 124, tertulis penyadapan harus atas seizin ketua pengadilan negeri.
Baca Juga: Revisi KUHAP, DPR Setuju Advokat Tak Bisa Dituntut Pidana-Perdata Saat Bela Klien
Penyadapan tanpa izin ketua pengadilan negeri baru dapat dilakukan jika dalam keadaan mendesak. Berikut bunyinya: