Suara.com - Sejumlah warga sipil mengalami kematian dan cedera akibat serangkaian serangan oleh Israel di Jalur Gaza pada hari pertama perayaan Idul Fitri 2025, yang jatuh pada hari Minggu.
Menurut laporan dari koresponden WAFA, empat warga sipil tewas akibat penembakan yang dilakukan Israel, yang mengincar kawasan pengungsian di Wilayah Qizan Abu Rishwan di bagian selatan Kota Khan Yunis.
Di tempat lain, dua warga sipil juga kehilangan nyawa dan banyak lainnya alami luka-luka akibat serangan udara Israel yang menargetkan rumah keluarga Muqbel di Jabalia, Jalur Gaza utara.
Selanjutnya, serangan menggunakan pesawat tanpa awak melukai sejumlah orang ketika menyerang kerumunan warga sipil di Wilayah Khirbet Al-Adas di Rafah utara.
Berbagai sumber medis melaporkan bahwa jumlah korban jiwa akibat agresi Israel yang sedang berlangsung di Gaza telah mencapai 50.277 orang sejak 7 Oktober 2023.
Di samping itu, lebih dari 114.095 orang lainnya juga mengalami luka-luka dalam agresi tersebut.

Suasana Idulfitri di Gaza
Selama dua tahun berturut-turut, suasana perayaan Idulfitri tidak terasa di Gaza. Ribuan keluarga masih tinggal di tenda darurat, berduka atas rumah dan orang tercinta yang hilang.
Jalan-jalan yang dulunya ramai dan penuh dekorasi serta tawa anak-anak kini dihantui puing-puing bangunan, menjadi saksi bisu dari kehancuran akibat serangan Israel yang berkelanjutan.
Baca Juga: Lebaran 1446 H Semakin Mudah, 1 Juta AgenBRILink BRI Tangani Transaksi dan Pembayaran
Menurut kalender Islam, umat Muslim di seluruh dunia akan merayakan hari pertama Idulfitri pada Minggu (30/3) atau Senin (31/3), tergantung pada penampakan bulan baru. Namun, di Gaza, perayaan minim arti.
Di kamp pengungsi Al-Shati, sebelah barat Gaza City, Suad Abu Shahla (29) duduk di luar tenda yang robek, berusaha menenangkan anaknya yang menangis.
Ibu dari empat anak ini kehilangan rumahnya di Beit Lahia pada November 2024 akibat pengeboman Israel. Sejak saat itu, Suad dan keluarganya terpaksa menjalani hidup di tempat penampungan yang sangat tidak memadai, hanya memberikan perlindungan minimal dari cuaca.
"Idul Fitri telah kehilangan maknanya di Gaza," ungkapnya kepada Xinhua. "Sebelum perang, kami biasa membeli pakaian dan makanan manis untuk anak-anak. Sekarang, kami bahkan tidak mampu membeli roti."
"Anak-anak saya bertanya, 'Apakah kami akan mendapatkan baju baru? Apakah kami akan pulang ke rumah?' Namun, saya tidak bisa memberikan jawaban," tambah Suad.
Di seluruh Gaza City, jejak perang terlihat di mana-mana. Bangunan runtuh, jalan dipenuhi puing-puing, dan infrastruktur yang rusak mencerminkan dampak konflik tersebut.
Di kawasan al-Rimal, yang dulunya menjadi kawasan termewah di Gaza City, sebagian besar bangunan hancur atau rusak parah. Mobil-mobil terbakar dan tiang listrik yang roboh tampak di jalanan yang sepi.
Penderitaan semakin parah sejak Israel melanjutkan serangan militernya pada 18 Maret, setelah dua bulan relatif tenang. Beberapa keluarga mulai kembali ke rumah mereka di Gaza utara, namun kini terpaksa mengungsi lagi.
"Tahun lalu, meski dalam kondisi perang, kami mencoba menciptakan suasana bahagia. Sekarang, saya bahkan tidak mampu membeli makanan manis untuk anak-anak saya," kata Marwan Al-Haddad (37), yang telah mengungsi dari Beit Hanoun setelah serangan Israel pekan lalu.
"Bagaimana saya bisa memberi tahu anak-anak saya bahwa perang akan segera berakhir?" kata pria tersebut. "Setiap kali kami terbangun karena suara bom, kami menyadari bahwa perdamaian masih jauh."

Situasi serupa juga dialami oleh pemilik bisnis. Di Jalan Wehda, yang dulunya merupakan pusat komersial yang ramai di Gaza City, sebagian besar toko tetap tutup atau rusak. Ibrahim Siam, seorang pemilik toko penganan manis, menyesalkan bahwa bisnisnya hancur akibat perang.
"Dahulu, saya bisa menjual puluhan kilogram penganan manis saat Idul Fitri," jelas Siam kepada Xinhua. "Sekarang, orang-orang bahkan kesulitan mendapatkan roti."
Serangan terbaru Israel telah menewaskan sedikitnya 921 orang dan melukai 2.054 lainnya, menurut otoritas kesehatan di Gaza pada Sabtu (29/3).
Di kamp pengungsi Jabalia di bagian utara Jalur Gaza, aktivitas pasar tetap lesu. Abdul Rahman al-Zein, seorang pemilik toko pakaian, mengatakan bahwa hanya sedikit orang yang mampu membeli pakaian untuk Idul Fitri. "Orang-orang lebih fokus pada bertahan hidup."
Di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Fatima Qudeih (32) tinggal di sebuah tenda bersama ketiga anaknya setelah kehilangan rumah akibat serangan udara Israel di Jabalia.
"Anak-anak saya bertanya mengapa kami tidak membeli baju baru atau pergi ke pasar seperti dulu," kata Qudeih kepada Xinhua. "Saya bilang kepada mereka bahwa kami akan membelinya setelah perang berakhir, tetapi mereka mulai kehilangan kepercayaan pada kata-kata saya."
Reham Odeh, seorang pakar politik di Jalur Gaza, menyatakan bahwa dampak konflik terhadap masyarakat Gaza sangat besar.
"Perang tidak hanya menghancurkan rumah-rumah, tapi juga menghancurkan moral penduduk Gaza," jelas Odeh.
Ia menambahkan, meskipun konflik berakhir hari ini, dampaknya akan terasa selama puluhan tahun ke depan.
"Ribuan keluarga kehilangan pencari nafkah, dan infrastruktur harus dibangun kembali dari awal," tuturnya.