Suara.com - Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, melihat ada sejumlah faktor yang menjadi pemicu siswa SMA di Pinrang, Sulawesi Selatan, berinisial S diduga melakukan sodomi kepada 16 anak.
Secara general, pria yang akrab disapa Kak Seto itu mengatakan siswa yang berani melakukan tindakan asusila memiliki banyak tekanan.
"Pertama tentu karena tekanan-tekanan yang terlalu berat," kata Seto di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (28/3/2025).
Menurutnya, anak yang memikiki tekanan terlalu berat akan mencari pelarian. Termasuk anak-anak yang kerap dibandingkan. Padahal, ditekankan Seto, tumbuh kembang anak merupakan bagian dari hak mereka.
"Jangan dibanding-bandingkan. Bahwa semua anak pada dasarnya unik, otentik, dan tidak terbandingkan. Kalau anak diakui itu maka mereka tumbuh dan berkembang lebih sehat dan normal," kata Seto.
Ia menjelaskan tekanan yang terlalu berat bisa mengakibatkam anak melakukam dua hal. Pertama melawan dan kedua kabur.
"Tapi, manakala penuh dengan tekanan dampaknya antara fight atau flight. Artinya melawan, ya bahasakan misalnya lakukan kekerasan, atau flight, terbang, akhirnya kabur," kata Seto.
Langkah pelarian tersebut bisa berujung terhadap akses ke konten-konten negatif di dunia digital, mulai dari informasi pornografi, kekerasan, dan sebagainya. Akses terhadap konten-konten tersebut yang bisa berujung terhadap tindak tanduk anak di kehidupan nyata.
"Iya, iya karena situasi yang tidak ramah anak," kata Seto.
Baca Juga: Tragedi Palembang: Kak Seto Ungkap Pentingnya Pendidikan Etika Cegah Kekerasan Anak
Salah satu cara mencegah anak mendapat tekanan terlalu berat, menurut Seto dengan menciptakan suasana nyaman untuk anak di sekolah.
"Jadi, kan wajibnya wajib belajar, bukan wajib sekolah. Jadi, belajar bisa kapan saja, di mana saja, dengan siapa saja," kata Seto.
Sementara itu terkait penggunaan UU Sistem Peradilan Pidana Anak untuk kasus terkait, Seto mengingatkan pentingnya ada edukasi di luar dari sanksi pidana yang diterapkan.
"Jadi memang, apa ya, sanksi pidana pada anak-anak itu harus edukatif. Jadi tidak langsung sekadar di penjara dan sebagainya," kata Seto.
Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menekankan bahwa kasus sodomi yang dilakukan oleh murid SMA di Pinrang, Sulawesi Selatan (Sumsel) tetap harus menggunakan UU Perlidungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pernyataan itu sekaligus menentang usulan anggota DPR Selly Andriany yang meminta agar proses hukum menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Komisioner KPAI bidang pendidikan Aris Adi Leksono menekankan bahwa proses hukum tetap harus memikirkan hak-hak anak, baik itu bagi korban maupun pelaku yang merupakan anak berhadapan dengan hukum (ABH).
"Penegakkan hukum kepada pelaku harus dilakukan dengan mengacu pada UU Perlidungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Kami berharap Perlidungan identitas bagi ABH dan Korban tetap dijaga, agar tidak menimbulkan stigma. Karena mereka masih memiliki masa depan," kata Aris kepada Suara.com, dihubungi Jumat (28/3/2025).
KPAI mendukung proses hukum dilakukan segera untuk memastikan tidak ada tambahan korban lagi. Serta korban yang saat ini diketahui jumlahnya telah mencapai 16 anak harus mendapatkan keadilan.
Namun dengan catatan, Aris mengingatkan bahwa prosea hukum juga harus berbasis pendampingan dan pemulihan.
"Korban harus mendapatkan layanan dari UPTD PPA, mulai dari pendampingan hukum, pendampingan psikologi, rehapsos, hingga betul-betul pulih, serta jika membutuhkan pemda dapat memberikan bantuan sosial," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, siswa SMA di Pinrang, berinisial S diduga telah lakukan sodomi kepada 16 anak. Tindakan itu disebut telah dilakukan S sejak SMP.
"Remaja tersebut sudah kita amankan, setelah salah satu korban melapor. Korbannya ada 16 anak," kata Kasat Reskrim Polres Pinrang Iptu Andi Reza Pahlawan kepada wartawan, Kamis (27/3).
Iptu Andi Reza menyampaikan bahwa pelaku sudah diamankan polisi setelah salah satu korban membuat laporan.
"Aksi pelaku ini sejak dia masih duduk di bangku SMP hingga SMA," tuturnya.
S saat akan melakukan aksi bejatnya kerap mengiming-imingi korban dengan sejumlah uang jajan dan membawanya pergi jalan-jalan.
"Setelah itu, pelaku melancarkan aksinya di tempat sepi, seperti di kamar mandi," jelas Reza.
Pelaku juga Korban
Berdasarkan investigasi sementara polisi, pelaku ternyata pernah menjadi korban pelecehan ketika masih duduk di bangku sekolah dasar.
Merespons kejahatan seksual tersebut, Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PDIP Selly Andriany Gantina menilai persoalan tersebut terjadi karena lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap anak.

"Terlebih pelaku diketahui juga pelajar SMA. Ini menunjukkan ada masalah moral terhadap kejahatan ini. Peringatan keras harus dilakukan sebab menunjukkan ada lemahnya pengawasan dan perlindungan terhadap anak, baik korban maupun pelaku," katanya.
Selly bahkan mendorong agar Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) harus diterapkan, terutama kepada anak-anak. Dia mendorong pendampingan kepada para korban untuk memutus rantai kekerasan.
"Mengutip mandat Ketua DPR RI, Ibu Puan Maharani penerapan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS wajib dilakukan, baik pendampingan psikis terhadap para korban maupun pendampingan hukum terhadap pelaku. Intinya anak-anak masih memiliki masa depan yang cerah," kata Selly.
Tak hanya itu, ia juga menekankan bahwa korban harus mendapat terapi psikis untuk memutus mata rantai agar bersih dari trauma dan kejadian tidak terulang.
"Sementara terhadap pelaku, untuk merahasiakan identitas sembari melakukan pendampingan hukum wajib. Prioritaskan menjatuhkan hukuman sembari pembersihan mental dan penelusuran lebih jauh 'kenapa' pelaku berbuat harus segera di cari tau," katanya.