Suara.com - Gelombang demonstrasi besar-besaran di Turki memicu kekhawatiran global. Demokrasi di negara itu kembali diuji.
Penangkapan Ekrem Imamoglu, Wali Kota Istanbul sekaligus pesaing Presiden Erdogan, jadi pemicunya.
Sebagai tokoh utama Partai Rakyat Republik (CHP), Imamoglu dikenal sebagai rival terkuat Erdogan. Pada 23 Maret, ia didakwa korupsi dan dituduh membantu kelompok teroris.
Bagi banyak warga, penahanannya bermotif politik. Di media sosial, Imamoglu menulis: "Ini pukulan terhadap keinginan rakyat."
"Ratusan polisi sudah mendatangi rumah saya. Saya percayakan semuanya kepada rakyat," tambahnya.
Meski ada tuduhan baru terkait PKK—kelompok nasionalis Kurdi yang telah berkonflik dengan Turki sejak 1980-an—hakim menolak mengeluarkan surat perintah penangkapan kedua.
Turki, AS, dan Inggris menggolongkan PKK sebagai organisasi teroris.
Siapa yang berunjuk rasa?
Sejak Imamoglu ditangkap, puluhan ribu orang turun ke jalan. Mereka menentang larangan demonstrasi pemerintah.
Baca Juga: Peristiwa Mengerikan 15 Maret 1921, Pemimpin Turki Talaat Pasha Tewas Ditembak Warga Armenia
Pada Senin (24/03), sebanyak 1.133 pengunjuk rasa ditahan. Menteri Dalam Negeri Ali Yerlikaya menyebut aksi ini telah "menyalahgunakan" hak untuk berdemonstrasi.
Banyak dari mereka adalah mahasiswa. Mereka tumbuh di bawah kepemimpinan Erdogan, yang telah berkuasa selama 22 tahun.
Meskipun ada ancaman penangkapan, mereka tak gentar. "Kami ingin demokrasi," kata seorang pemuda.
"Kami ingin rakyat memilih orang-orang yang terpilih. Dan kami menginginkan kebebasan untuk memilih siapa pun yang kami inginkan tanpa harus memenjarakan mereka."
Protes sebagian besar berlangsung damai. Namun, Minggu (23/03) malam, terjadi kerusuhan terburuk dalam lebih dari satu dekade.
Pasukan keamanan menembakkan gas air mata, semprotan merica, dan peluru karet ke arah massa.
Banyak demonstran mengenakan masker atau syal untuk melindungi diri.
Di setidaknya 55 dari 81 provinsi, rakyat Turki terus bergerak. Mereka menuntut keadilan.
Para pengamat menilai penangkapan Imamoglu berkaitan dengan pemilihan pemimpin utama CHP, partai oposisi utama di Turki.
Pemilihan dijadwalkan pada 23 Maret. Imamoglu diperkirakan menang, karena ia satu-satunya kandidat dalam surat suara.
Jika terpilih, ia berpotensi menjadi lawan Erdogan dalam Pilpres 2028.
Hingga Minggu (23/03) malam, 15 juta orang mengantre untuk memberikan suara dalam pemungutan suara simbolis—meski Imamoglu masih dalam tahanan praperadilan.
Pencalonannya sebagai presiden masih harus melewati proses resmi.
Di sebuah rapat umum di Istanbul, pemimpin CHP Ozgur Ozel menyebut 1,6 juta suara berasal dari anggota partai. Sisanya bentuk solidaritas.
BBC belum bisa memverifikasi angka-angka ini secara independen.
Tahun lalu, Imamoglu terpilih kembali sebagai Wali Kota Istanbul. Kemenangannya disebut sebagai awal gerakan menuju kepemimpinan CHP.
Partai oposisi mengecam penangkapannya. Mereka menyebutnya sebagai "percobaan kudeta terhadap presiden berikutnya."
Pemerintah membantah tuduhan bermotif politik. Mereka menegaskan pengadilan Turki tetap independen.
Kejaksaan menyatakan Imamoglu ditahan atas berbagai tuduhan: menjalankan organisasi kriminal, menerima suap, pemerasan, penyadapan ilegal, dan pengaturan tender.
Dalam pernyataan resmi, Imamoglu membantah semua tuduhan. Ia menyebut penangkapannya telah mencoreng citra Turki.
Respon Erdogan
Presiden Erdogan memberikan pernyataan yang disiarkan televisi setelah mengadakan rapat kabinet pada Senin (24/03) malam.
Ia mengutuk demonstrasi yang terjadi dan menuduh CHP melakukan "kejahatan terhadap negara."
Sementara itu, pemimpin CHP Ozgur Ozel menuduh Erdogan tidak hanya "menentang" Imamoglu , tetapi juga jutaan rakyat Turki. Partai tersebut juga menuduh pemerintah berupaya "melakukan kudeta".
Sekutu barat Turki tidak begitu vokal mengenai kerusuhan tersebut.
Kanselir Jerman yang akan lengser, Olaf Scholz, menyatakan kekhawatirannya atas penahanan Imamoglu beberapa hari sebelumnya, dan menyebutnya "menyedihkan bagi demokrasi di Turki".
Departemen Luar Negeri AS menyebut demonstrasi Turki sebagai masalah internal, Bloomberg melaporkan.
Sementara Komisi Eropa telah mendesak Turki untuk "menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi" sebagai negara yang menjadi anggota Dewan Eropa dan kandidat untuk bergabung dengan UE.