Vokalis Heart Blak-blakan: Lebih Malu Jadi Orang Amerika Sekarang Daripada Saat Perang Vietnam

Aprilo Ade Wismoyo Suara.Com
Selasa, 25 Maret 2025 | 16:25 WIB
Vokalis Heart Blak-blakan: Lebih Malu Jadi Orang Amerika Sekarang Daripada Saat Perang Vietnam
Vokalis Heart, Nancy Wilson (Instagram)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nancy Wilson, musisi Amerika terkenal dari band rock Heart, mengungkapkan ketidaknyamanannya menjadi orang Amerika dalam iklim politik saat ini, menyebutnya "memalukan". Dalam wawancara baru-baru ini dengan Milwaukee Journal Sentinel, Wilson berbicara tentang keadaan dunia dan perasaannya sebagai orang Amerika saat ini.

Percakapan tersebut menyinggung singel ikonik Heart tahun 1975, "Crazy on You", yang ia jelaskan awalnya ditulis sebagai kritik terhadap Perang Vietnam. Menariknya, ia mencatat bahwa pesan lagu tersebut terus terasa relevan bahkan di dunia saat ini.

"Kami agak malu saat itu menyebut diri kami orang Amerika karena politik kotor Perang Vietnam," jelas Wilson. "Sebisa mungkin, itu lebih memalukan sekarang."

Menurut New York Post, pernyataan Wilson tidak dianggap enteng, dan baik penggemar maupun kritikus mengecam penyanyi kaya itu atas komentarnya yang kontroversial tentang negara tersebut.

"Kata jutawan yang menghasilkan banyak uang dengan bermain musik," ejek salah satu pengguna X. "Saya tidak bisa menghadapi orang-orang ini sekarang."

"Berhentilah memutar musik Heart tahun 80-an, dan itu tidak memalukan," sindir pengguna X ketiga.

"Memalukan menjadi penggemar Heart sekarang," imbuh mantan pendukung band lainnya.

Yang lain menginstruksikan Wilson untuk meninggalkan AS jika dia merasa malu.

"Kalau begitu pergilah; Anda tidak akan dirindukan," komentar seseorang. "Minggir, kurasa," komentar yang kedua.

Baca Juga: Jadwal MotoGP Amerika Serikat 2025, Akankah Si Raja COTA Kembali?

Vokalis Heart, Nancy Wilson (Instagram)
Vokalis Heart, Nancy Wilson (Instagram)

Gebrakan kontroversial Trump

Kritik terhadap pemerintahan Trump bermunculan dari berbagai kalangan termasuk artis seiring kebijakan-kebijakannya yang cukup kontroversial.

Salah satu gebrakan Trump yang menuai atensi dunia adalah keinginannya mencaplok Greenland untuk bergabung menjadi teritori Amerika Serikat.

Pada Selasa, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkapkan bahwa AS akan berusaha mengamankan Greenland "dengan cara apa pun," menekankan betapa pentingnya pulau tersebut bagi kepentingan strategis negara.

"Kami memerlukan Greenland demi keamanan nasional dan keamanan internasional," kata Trump dalam sebuah pidato di hadapan sidang gabungan Kongres.

"Kami sedang bekerja sama dengan semua pihak terkait untuk mencoba memperolehnya, namun kami benar-benar membutuhkannya untuk keamanan dunia internasional, dan saya percaya kami akan mendapatkannya dengan cara apa pun," tambahnya.

Trump juga menunjukkan dukungannya kepada rakyat Greenland, "Kami sangat mendukung hak Anda untuk menentukan nasib sendiri, dan jika Anda memilihnya, kami akan menyambut Anda sebagai bagian dari Amerika Serikat," ucapnya.

Donald Trump (x.com)
Donald Trump (x.com)

Greenland, sebagai pulau terbesar di dunia, telah menjadi wilayah otonomi Denmark sejak 1979 dan terletak di antara Samudra Arktik dan Atlantik.

Pulau ini kaya akan mineral dan memiliki posisi strategis di Arktik, membuatnya semakin menarik bagi AS karena potensi sumber daya alam dan lokasinya.

Namun, baik Denmark maupun Greenland telah menolak semua tawaran untuk menjual pulau tersebut, dengan pemerintah Denmark menegaskan bahwa mereka tetap berdaulat atas wilayah itu.

Sebuah survei yang dilakukan pada bulan Januari menunjukkan bahwa 85 persen penduduk Greenland menolak bergabung dengan AS.

Ingin ambil alih Gaza

Trump mengejutkan dunia beberapa bulan lalu ketika ia menyarankan sekitar 2 juta penduduk Gaza dimukimkan kembali di negara lain.

Donald trump mengatakan dengan tegas bahwa Amerika Serikat akan mengambil alih kepemilikan wilayah yang dilanda perang dan membangunnya kembali menjadi "Riviera" Timur Tengah.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut baik usulan tersebut, yang ditolak mentah-mentah oleh Palestina, negara-negara Arab, dan pakar hak asasi manusia, yang mengatakan bahwa usulan tersebut kemungkinan akan melanggar hukum internasional.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI