Tingginya Perceraian di Cirebon, Menteri Arifah Khawatirkan Luka Sosial bagi Perempuan dan Anak

Selasa, 25 Maret 2025 | 15:03 WIB
Tingginya Perceraian di Cirebon, Menteri Arifah Khawatirkan Luka Sosial bagi Perempuan dan Anak
Ilustrasi cerai (pexels.com/cottonbro)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau PPPA, Arifah Fauzi, menyoroti tingginya angka perceraian secara nasional yang kini telah mengkhawatirkan. Terutama di Kota Cirebon yang kembali menjadi sorotan karena jumlah perceraiannya salah satu yang tertinggi di Indonesia.

Perceraian itu mengkhawatirkan karena dinilai membawa dampak serius terhadap kesejahteraan sosial, khususnya bagi perempuan dan anak.

Dalam Sistem Informasi Manajemen Nikah atau Simkah Kementerian Agama RI mencatat ada 292.959 pernikahan di Jawa Barat sepanjang tahun 2024, dengan 170.000 di antaranya berakhir dengan gugatan cerai. Dari jumalah tersebut 70 persen diajukan oleh perempuan.

Kota Cirebon tercatat sebagai daerah dengan angka perceraian tertinggi di Indonesia.

"Tingginya angka perceraian ini berdampak besar pada kesejahteraan anak dan perempuan. Oleh karena itu, perlu adanya kolaborasi antara Kementerian, lembaga serta organisasi kemasyarakatan dalam memberikan edukasi dan advokasi kepada masyarakat," ujar Arifah dalam keterangannya yang diterima wartawan, Selasa (25/3/2025).

Arifah juga menegaskan pentingnya sinergi antar kementerian, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menciptakan perubahan nyata bagi perempuan dan anak di Cirebon.

Ilustrasi cerai. Hukum menikahi perempuan yang ditinggal suaminya tanpa kejelasan. [pexels/RDNE Stock project]
Ilustrasi cerai. [pexels/RDNE Stock project]

"Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan perlindungan terhadap perempuan dan anak berjalan optimal. Dengan kerja sama yang baik, kita dapat membangun Cirebon yang lebih mandiri, berkualitas, dan religius," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat Ajam Mustajam, menyatakan bahwa peran Majelis Ulama Indonesia atau MUI, majelis taklim, serta berbagai organisasi Islam harus dioptimalkan dalam memberikan pendidikan keagamaan bagi perempuan dan anak-anak.

Ia juga menegaskan bahwa sinergi antara kementerian, lembaga, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya dalam menurunkan tingkat perceraian di Kabupaten Cirebon.

Baca Juga: Aturan Penggunaan Gadget Anak Tengah Digodok Komdigi, Menteri PPPA Usul Belajar di Sekolah Kembali Manual

Menanggapi hal ini, anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriani Garnita, menegaskan bahwa pesantren dan organisasi keagamaan harus lebih diberdayakan dalam membentuk karakter anak-anak agar lebih kuat secara moral dan spiritual.

"Sebagai Kota Wali, Cirebon harus menjadi contoh dalam perlindungan perempuan dan anak. Pesantren harus menjadi wadah pembelajaran agama yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga melindungi hak-hak perempuan dan anak dari berbagai ancaman sosial," ujar Selly.

Sebagai Kota Wali yang memiliki banyak pesantren, Cirebon memiliki peran strategis dalam membangun lingkungan yang aman dan religius bagi perempuan dan anak.

"Pesantren harus menjadi garda terdepan dalam memberikan pemahaman agama yang benar serta melindungi hak-hak anak dan perempuan. Jika tidak ditangani dengan baik, masalah ini bisa menjadi bencana sosial di masa depan," pesannya.

Ilustrasi perceraian yang diperbolehkan dalam islam (Freepik)
Ilustrasi perceraian yang diperbolehkan dalam islam (Freepik)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS, jumlah perceraian di Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2023. Total kasus perceraian disebut mencapai 463.654, turun 10,2 persen dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 516.344 kasus. Berikut jumlah perceraian menurut provinsi lima besar di Indonesia pada tahun 2023:

  • Jawa Barat: 91.146 kasus
  • Jawa Timur: 79.248 kasus
  • Jawa Tengah: 68.133 kasus
  • Sumatera Utara: 15.660 kasus
  • DKI Jakarta: 14.381 kasus.

Dalam data tersebut juga menerangkan sekitar 75,21 persen dari kasus perceraian yang dicatat BPS pada tahun 2022 merupakan cerai gugat, yaitu perkara perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya yang sah. Kemudian sisanya, 24,79 persen adalah cerai talak, yang diajukan oleh suami atau kuasanya yang sah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI