Suara.com - Seorang dokter bedah ortopedi di Queensland, Australia, mendapat teguran keras dan denda sebesar $10.000 (sekitar Rp150 juta) setelah memotret tato swastika di penis seorang pasien yang sedang koma, lalu menyebarkannya kepada rekan-rekannya melalui WhatsApp.
Insiden yang terjadi pada April 2019 ini terungkap dalam sidang Pengadilan Sipil dan Administratif Queensland, memicu perdebatan tentang etika medis dan privasi pasien.
Kejadian bermula saat seorang pria dirawat di unit perawatan intensif sebuah rumah sakit di Queensland akibat ledakan bom pipa rakitan yang melukai tangannya.
Pasien tersebut berada dalam kondisi koma selama seminggu dan menggunakan tabung pernapasan.

Saat itulah dokter bedah tersebut, yang identitasnya dirahasiakan dan disebut sebagai "Dokter A" dalam dokumen pengadilan, menemukan tato swastika di area pribadi pasien dan memutuskan untuk memotretnya.
Menurut temuan pengadilan, dokter tersebut kemudian membagikan foto itu kepada rekan medis lainnya melalui WhatsApp tanpa tujuan klinis atau medis yang jelas.
Anggota pengadilan, Peter Murphy SC, menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap profesionalisme medis, terutama karena pasien berada dalam kondisi sangat rentan dan tidak sadarkan diri.
Meski begitu, Murphy mencatat bahwa dokter tersebut segera menyesali perbuatannya.
Dokter A mengaku terkejut dan tersinggung saat melihat tato tersebut, yang ia anggap sebagai simbol rasisme yang merendahkan latar belakang etnisnya.
Baca Juga: Doktif Balik Laporkan Dokter Richard Lee atas Dugaan Pencemaran Nama Baik
"Ia memahami swastika melambangkan rasisme dan merendahkan orang-orang dengan asal etnisnya." kata Murphy.
Ia mengungkapkan kepada pengadilan bahwa dirinya kerap menjadi sasaran rasisme selama hidup di Australia, bahkan sampai mengganti namanya secara resmi karena tekanan tersebut.
"Hal itu telah menyebabkannya sangat tertekan, yang akhirnya membuatnya mengubah namanya secara resmi." lanjut Murphy.
"Swastika itu memicu perasaan tertekan yang mendalam," ungkapnya.
Dewan Medis Australia sempat meminta pengadilan untuk menskors dokter tersebut selama enam bulan dengan pendampingan ketat.
Namun, Murphy menilai teguran dan denda sudah cukup sebagai hukuman, mengingat dokter tersebut juga menghadapi tekanan besar dalam sistem kesehatan publik saat kejadian.
Dokter A kini telah mengundurkan diri dari rumah sakit tersebut dan kembali praktik secara pribadi.
Tuntutan pidana yang sempat diajukan juga dibatalkan setelah ia mencapai kesepakatan pribadi dengan pasien melalui konferensi keadilan restoratif.
Kasus ini menambah sorotan pada isu etika dalam dunia medis di Australia.
Sebagai perbandingan, di Melbourne pada Februari 2024, seorang wanita bernama Joanna Kathlyn Kinman nyaris dipenjara setelah kedapatan mengambil jari kaki manusia dari muntahan anjing untuk dijual secara daring.
Kinman, yang bekerja di tempat penampungan hewan, akhirnya dijatuhi hukuman 18 bulan pengabdian masyarakat yang mencakup 150 jam kerja alih-alih di penjara.
Kasus serupa juga pernah terjadi di Inggris, seorang dokter didenda dan diskors oleh General Medical Council setelah mengunggah foto luka pasien di media sosial tanpa persetujuan.
Foto tersebut diambil selama operasi dan dibagikan dengan komentar yang dianggap tidak sensitif. Kasus ini mirip dengan Dokter A dalam hal pelanggaran privasi dan penyalahgunaan informasi pasien tanpa tujuan medis.
Hukumannya mencakup skorsing sementara dan pelatihan etika tambahan. Pelanggaran etika berupa kerahasiaan pasien dan profesionalisme.
Insiden ini meninggalkan pertanyaan besar tentang perlindungan privasi pasien dan batas profesionalisme tenaga medis, terutama di saat pasien tidak mampu memberikan persetujuan.
Hingga kini, kasus Dokter A terus menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat dan profesi kesehatan Australia.