Draf Revisi KUHAP: Aturan Larangan Peliputan Sidang Secara Live Jadi Sorotan

Senin, 24 Maret 2025 | 16:32 WIB
Draf Revisi KUHAP: Aturan Larangan Peliputan Sidang Secara Live Jadi Sorotan
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang. (bidik layar video)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi III DPR mulai membahas terkait Revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Draf RKUHAP juga sudah bisa diakses, namun ada yang menarik yakni mengenai adanya aturan pelarangan liputan sidang secara langsung tanpa izin pengadilan.

Larangan liputan sidang secara live atau langsung tersebut tertuang dalam daraf RKUHAP di Pasal 253 Ayat 3.

Dilihat Suara.com dalam draf, bunyi pasal itu yakni setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang ikut menyoroti hal tersebut ketika Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) menerima masukan terkait revisi KUHAP di Komisi III DPR. Menurutnya, perlu penegasan dalam ayat tersebut.

"Jadi harus tegas, setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang mempublikasikan, apa itu? Liputan langsung ini kah artinya toh? Ini kan artinya sebenarnya?" kata Juniver di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/3/2025).

Menurutnya, adanya hal itu perlu disorot karena terdapat konsekuensi. Misalnya, kata dia, dalam persidangan pidana dan liputannya langsung, saksi-saksi bisa mendengar.

"(Saksi) bisa saling mempengaruhi, bisa nyontek, itu kita setuju itu. Jadi harus clear," ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, memang perlu pelarangan tegas meliput sidang secara langsung tanpa izin. Kendati begitu, ia mempersilahkan liputan siaran langsung boleh dilakukan apabila diatur mendapat izin dari pengadilan atau hakim.

"Mohon izin dilarang mempublikasikan, atau liputan langsung, tanpa seizin. Bisa saja diizinkan oleh hakim, silakan aja, tentu ada pertimbangannya, ini yang kami sampaikan di pasal 253 ayat 3," pungkasnya.

Baca Juga: Ketum Peradi SAI Juniver Girsang 'Semringah' DPR Setujui Usulan Hak Impunitas Advokat di RUU KUHAP

Perlu Perkuat Peran Penyidik Kejagung

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Nasional Ismail Rumadan mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) perlu memperkuat peran penyidik Kejaksaan Agung.

Ismail menyampaikan pernyataan tersebut untuk menanggapi Pasal 6 dalam draf RUU KUHAP yang mengatur jaksa menjadi penyidik tertentu.

"Penyidik Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi (tipikor) sangat produktif. Rumusan KUHAP hendaknya memperbaiki kelemahan dalam penyidikan tipikor,” usulnya dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (22/3).

Sementara itu, terkait sempat beredarnya draf yang mengatur penyidik kejaksaan hanya bisa menindak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, Ismail meminta Komisi III DPR RI agar setiap pembahasan RUU KUHAP dilakukan transparan yang meliputi keteraksesan drafnya bagi publik.

“Saya kira prosesnya perlu lebih transparan di mana publik bisa akses dan terlibat secara partisipatif,” ujarnya.

Dalam draf RUU yang dibagikan Komisi III DPR RI, Kamis (20/3), Pasal 6 ayat (1) berbunyi: “Penyidik terdiri atas penyidik Polri, PPNS, dan penyidik tertentu."

Kemudian, dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan penyidik tertentu misalnya penyidik tertentu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), penyidik tertentu Kejaksaan, dan penyidik tertentu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam UU.

Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) mengatur PPNS dan penyidik tertentu mempunyai wewenang berdasarkan UU yang menjadi dasar hukumnya. Dengan demikian, penyidik tertentu Kejaksaan tetap berwenang sesuai UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Pentingnya Pendekatan Keadilan Restoratif

Sementara anggota Komisi III DPR RI Bimantoro Wiyono menyebut pentingnya pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Selain itu, kata dia, pendekatan keadilan restoratif perlu menjadi bagian integral dari RUU KUHAP untuk mewujudkan sistem hukum yang lebih manusiawi dan solutif.

“Restorative justice adalah bentuk keadilan yang memulihkan. Ia tidak hanya memberikan ruang bagi korban untuk mendapatkan pemulihan, tetapi juga mendorong pelaku bertanggung jawab secara konstruktif. Ini sejalan dengan semangat pembaruan hukum acara pidana yang sedang kami dorong di DPR,” kata anggota komisi DPR bidang penegakan hukum tersebut dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Menurut dia, langkah mengedepankan pendekatan keadilan restoratif juga penting untuk mengatasi persoalan kapasitas berlebih di lembaga pemasyarakatan sekaligus mencegah kriminalisasi terhadap masyarakat yang seharusnya dapat diselesaikan di luar proses peradilan formal.

Adapun pada kesempatan sebelumnya, Kamis (13/3), dia mencontohkan perlunya keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus dugaan penipuan investasi bodong Net89.

Saat itu, dia menekankan pentingnya solusi yang mengutamakan pemulihan hak ekonomi korban dan kesepakatan antarpihak.

Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa komitmen tersebut akan terus disuarakan olehnya baik dalam forum legislasi di DPR maupun dalam pengawasan terhadap implementasi hukum di lapangan.

Ia berharap pembaruan RKUHAP dapat menjadi momentum untuk memperkuat pendekatan keadilan yang tidak semata-mata represif, tetapi juga progresif dan berpihak pada masyarakat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI