Pemerintah China Guyur Ratusan Triliun Agar Warga Bisa Belanja, Mengapa?

Senin, 24 Maret 2025 | 14:09 WIB
Pemerintah China Guyur Ratusan Triliun Agar Warga Bisa Belanja, Mengapa?
Seorang perempuan tengah berbelanja. (BBC Indonesia)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ekonomi China dikabarkan melambat. Pemerintah China menjanjikan subsidi perawatan anak, kenaikan upah, dan cuti berbayar demi mendongkrak ekonomi yang lesu.

Mereka juga menawarkan diskon US$41 miliar (Rp677 triliun) untuk berbagai barang, dari mesin pencuci piring hingga kendaraan listrik.

Beijing menggelontorkan dana agar masyarakat lebih banyak berbelanja. Ini lantaran konsumsi masyarakat masih rendah.

Upaya ini mulai membuahkan hasil. Data resmi per Senin (17/03) menunjukkan penjualan ritel tumbuh 4 persen dalam dua bulan pertama 2025. Ini sinyal positif bagi ekonomi.

Meski begitu, harga rumah terus turun, kecuali di beberapa kota seperti Shanghai. Di saat AS dan negara-negara lain berjuang melawan inflasi, China menghadapi kebalikannya deflasi.

Presiden China Xi Jinping (Instagram)
Presiden China Xi Jinping (Instagram)

Deflasi terjadi ketika harga-harga turun dalam jangka waktu lama. Selama dua tahun terakhir, China mengalami penurunan harga selama 18 bulan berturut-turut.

Sekilas, harga murah tampak menguntungkan konsumen. Tapi, konsumsi yang terus menurun menandakan masalah ekonomi yang lebih dalam.

Saat orang berhenti belanja, bisnis terpaksa menurunkan harga demi menarik pembeli. Semakin sering ini terjadi, semakin kecil keuntungan mereka.

Jika bisnis tak menghasilkan cukup uang, mereka akan mengurangi rekrutmen. Upah stagnan, dan roda ekonomi melambat.

Baca Juga: Indonesia di Persimpangan: Demokrasi, Ekonomi, dan Hukum dalam Krisis

Itulah siklus yang ingin dihindari China.

China kini berjuang melawan perlambatan ekonomi akibat krisis properti, utang pemerintah, dan pengangguran.

Akar masalahnya jelas daya beli masyarakat lemah.

Mereka yang punya uang pun enggan belanja karena ketidakpastian ekonomi.

Padahal, ini terjadi di saat yang krusial. China menargetkan pertumbuhan ekonomi 5 persen tahun ini. Presiden Xi Jinping pun menjadikan konsumsi sebagai prioritas utama.

Harapannya, peningkatan konsumsi domestik bisa menahan dampak tarif AS terhadap ekspor China.

Apakah strategi ini akan berhasil?

Pekan lalu, Beijing menutup Kongres Rakyat Nasional dengan meningkatkan investasi di sektor kesejahteraan sosial. Ini bagian dari rencana ekonomi 2025.

Langkah lanjutan diumumkan pekan ini, termasuk dukungan bagi lapangan kerja. Namun, detailnya masih minim.

Sejumlah pihak menyambut baik langkah ini. Tapi mereka menilai China harus berbuat lebih banyak untuk memperbaiki ekonomi.

Beijing tampaknya mulai memahami bahwa pasar konsumen yang kuat butuh perubahan struktural: upah lebih tinggi, jaring pengaman sosial yang kokoh, serta kebijakan yang membuat masyarakat berani belanja.

Saat ini, seperempat tenaga kerja China adalah pekerja migran berupah rendah dengan akses terbatas ke jaminan sosial.

Mereka sangat rentan dalam kondisi ekonomi yang sulit, seperti saat pandemi Covid-19.

Selama 2010-an, kenaikan upah sempat menutupi masalah ini. Pendapatan rata-rata tumbuh sekitar 10% per tahun. Tapi, sejak 2020-an, pertumbuhan upah melambat. Masyarakat kembali mengandalkan tabungan.

Pemerintah dinilai lambat dalam memperluas manfaat sosial. Sebaliknya, mereka lebih mengandalkan strategi jangka pendek, seperti program tukar tambah elektronik dan peralatan rumah tangga.

Namun, langkah ini tak menyelesaikan akar masalah.

"Pendapatan rumah tangga lebih rendah dan tabungan lebih tinggi," kata Gerard DiPippo, peneliti senior di Rand Corporation.

Krisis properti memperburuk situasi. Banyak orang mengerem belanja karena ketidakpastian aset mereka.

"Pasar properti sangat penting, bukan hanya bagi ekonomi riil, tetapi juga bagi kepercayaan masyarakat," kata DiPippo.

"Saya rasa konsumsi tidak akan pulih sampai sektor properti mencapai titik terendah."

Di sisi lain, rendahnya angka kelahiran menjadi tantangan jangka panjang. Banyak pasangan muda enggan memiliki anak karena alasan finansial.

Studi YuWa pada 2024 menunjukkan biaya membesarkan anak di China mencapai 6,8 kali lipat PDB per kapita. Ini salah satu yang tertinggi di dunia, melampaui AS (4,1), Jepang (4,3), dan Jerman (3,6).

Kondisi ini semakin memperkuat budaya menabung di China.

Meski ekonomi melambat, pada 2024 rumah tangga China tetap mampu menabung 32% dari pendapatan yang siap dibelanjakan.

Sebagai perbandingan, konsumsi domestik menyumbang lebih dari 80% pertumbuhan di AS dan Inggris, serta sekitar 70% di India. China hanya sekitar 50-55% dalam satu dekade terakhir.

Dulu, ini bukan masalah besar. Namun, kini kondisinya berubah.

Ada masa ketika konsumen China sulit menahan godaan belanja online karena banyaknya diskon.

Mereka bahkan bercanda bahwa satu-satunya cara berhenti belanja adalah dengan memotong tangan sendiri.

Puncaknya, festival belanja "Double 11" menghasilkan 410 miliar yuan (Rp937 triliun) hanya dalam 24 jam pada 2019.

Namun, "Double 11" tahun lalu disebut gagal total. Seorang penjual biji kopi di Beijing mengeluh kepada BBC, "Tanggal itu justru lebih banyak mendatangkan masalah."

Konsumen menjadi lebih hemat sejak pandemi. Bahkan setelah pembatasan dicabut akhir 2022, kebiasaan ini bertahan.

Alibaba dan JD.com bahkan berhenti mempublikasikan angka penjualan mereka. Otoritas China disebut melarang mereka merilis data demi menjaga kepercayaan konsumen.

Kemerosotan konsumsi ini juga memukul merek-merek mewah.

Pada 2024, LVMH, Burberry, dan Richemont melaporkan penurunan penjualan di China, yang sebelumnya adalah tulang punggung pasar mewah global.

Di media sosial China, unggahan bertema "penurunan konsumsi" telah ditonton lebih dari satu miliar kali dalam beberapa bulan terakhir.

Pengguna berbagi trik menghemat pengeluaran.

"Balsem Tiger jadi pengganti kopi," tulis seseorang.

"Saya pakai parfum di antara hidung dan bibir. Cukup saya saja yang bisa mencium wanginya," ujar yang lain.

Sejak awal, ekonomi China lebih bergantung pada ekspor ketimbang konsumsi.

Negara ini bertumpu pada investasi besar di infrastruktur dan tenaga kerja murah.

Namun, kini banyak negara mengurangi ketergantungan mereka pada produk China.

Pemerintah daerah pun terbebani utang akibat investasi jangka panjang yang masif.

Xi Jinping berjanji akan menjadikan konsumsi domestik sebagai "kekuatan pendorong utama" ekonomi China.

"Dengan populasi 1,4 miliar, peningkatan konsumsi 1% saja bisa menciptakan pasar bagi 14 juta orang," kata Caiyun Wang, anggota Kongres Rakyat Nasional.

Tapi, tantangan besar menanti.

Banyak analis percaya, agar konsumsi benar-benar meningkat, Partai Komunis China harus memulihkan kepercayaan generasi muda pasca-Covid yang sulit memiliki rumah dan pekerjaan.

Mereka juga harus mengubah budaya menabung menjadi budaya belanja.

"Rendahnya konsumsi di China bukan kebetulan," kata Michael Pettis dari Carnegie Endowment for International Peace.

"Ini sudah mendarah daging dalam sistem ekonomi, politik, dan hukum China selama puluhan tahun. Mengubahnya bukan perkara mudah."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI