Emisi dari kendaraan diesel, pembakaran jerami, serta polusi industri memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi gua.
Partikel sulfur yang terakumulasi pada permukaan batu dapat bereaksi dengan air dan membentuk senyawa yang merusak struktur batuan, sehingga mempercepat pengelupasan lukisan gua.
Pemanfaatan AI dalam Penelitian
Untuk memahami lebih jauh korelasi antara perubahan iklim dan kerusakan seni cadas, penelitian ini memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
Dengan menggunakan data cuaca dari NASA dan indeks ENSO, Prof. Halmar dan timnya membangun model prediksi yang dapat memetakan pola pengelupasan berdasarkan variabilitas iklim.
“Hasilnya menunjukkan bahwa ada korelasi yang sangat signifikan antara perubahan iklim dengan tingkat kerusakan seni cadas. Dengan teknologi ini, kita dapat memprediksi gua mana yang lebih rentan mengalami degradasi dan mengembangkan strategi konservasi yang lebih efektif,” tambahnya.
Kolaborasi Lintas Sektor untuk Konservasi
Dalam diskusi yang berlangsung selama webinar, Prof. Halmar menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk akademisi, kementerian, dan komunitas peneliti dari berbagai disiplin ilmu.
Upaya konservasi seni cadas tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan membutuhkan sinergi antara ilmuwan iklim, arkeolog, dan pemerintah.
Baca Juga: Kota Tenggelam: Bagaimana Perubahan Iklim Mengancam Daerah Pesisir?
“Kita perlu menghindari kerja sendiri-sendiri yang bisa berujung pada tumpang tindih riset. Justru, dengan menghimpun para peneliti dan pihak terkait dalam satu kolaborasi besar, kita bisa menciptakan solusi yang lebih efektif,” ujarnya.