Suara.com - Dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan, Seketaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menarik perhatian publik dengan mengutip pleidoi legendaris Presiden Soekarno, Indonesia Menggugat.
Dalam nota keberatannya terhadap dakwaan jaksa KPK, Hasto tampak berupaya membangun narasi perjuangan mengenai dirinya menghadapi ketidakadilan seperti yang dialami Bung Karno di era kolonial.
Pernyataan ini pun memicu perdebatan karena perbedaan konteks perkaranya. Hasto tengah menjadi terdakwa atas dugaan keterlibatan dalam kasus suap dan perintangan hukum.
Dalam sidang dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan dari Hasto menanggapi atas dakwaan jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Perlu kami sampaikan dalam persidangan ini, bahwa keadilan sosial digerakkan oleh prinsip kemanusiaan. Oleh Bung Karno, Proklamator dan Bapak Bangsa Indonesia, bahwa cita-cita kemanusiaan ini lahir dari semangat bahwa di dalam bumi Indonesia Merdeka, tidak boleh lagi ada penjajahan antar manusia," kata Hasto di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
"Tidak boleh lagi ada kesewenang-wenangan yang menindas rakyat, termasuk penyalahgunaan hukum yang terjadi pada masa kolonial," tambah Hasto.
Hasto Kristiyanto menekankan bahwa prinsip kemanusiaan lahir dari pengalaman pahit bangsa yang pernah dijajah.
Ia menyinggung bagaimana pada era kolonialisme Belanda hingga pendudukan Jepang, hukum sering kali digunakan sebagai alat penindasan, dengan pasal-pasal karet yang menjerat para pemimpin nasional seperti Bung Karno dan Bung Hatta.
Dengan menyampaikan hal ini dalam eksepsinya, Hasto tampak ingin membangun narasi bahwa dirinya dengan upaya menarik simpati di tengah jeratan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan yang kini membelitnya.
Baca Juga: Kuasa Hukum Minta Penahanan Hasto Dipindah ke Rutan Salemba, Kenapa?
"Hukum kolonial inilah yang ditentang habis oleh para pendiri bangsa. Dalam Pleidoi Bung Karno yang dikenal dengan 'Indonesia Menggugat', Beliau menolak penggunaan undang-undang sebagai senjata," ujarnya.
Hasto Kristiyanto menuding bahwa semangat kolonialisme yang pernah dikritik oleh Soekarno kini kembali hadir melalui tindakan para penyidik KPK.
Para penyidik tak memahami falsafah kemanusiaan yang diusung Bung Karno dan justru mengabaikan asas keadilan dalam Undang-Undang KPK.
Dengan pernyataan ini, Hasto berupaya membangun citra dirinya sebagai korban ketidakadilan, menggiring bahwa proses hukum yang menjeratnya sarat kepentingan tertentu, bukan murni upaya penegakan hukum.
"Para penyidik yang mengabaikan kemanusiaan sangat tidak memahami falsafah kemanusiaan sebagaimana disampaikan oleh Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 yang telah diterima secara aklamasi dalam sidang BPUPKI yang menetapkan dasar negara Indonesia. Atas dasar hal ini, mengapa asas Undang-Undang KPK juga begitu mudah diabaikan oleh penyidik KPK?" ujarnya.
Namun, perbandingan ini tentu menuai kontroversi, mengingat konteks perjuangan melawan kolonialisme dan kasus dugaan suap yang dihadapinya adalah dua hal yang sangat berbeda.
Eksepsi Hasto berjudul 'Jadikan Deritaku Ini Sebagai Kesaksian Bahwa Kekuasaan Seorang Presiden Sekalipun Ada Batasnya' yang terinspirasi dari kenyataan Bung Karno.
"Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan yang Maha Esa," ucap Hasto.
"Judul ini mengandung semangat 'Satyam Eva Jayate', yang artinya bahwa kebenaran pasti menang," ucapnya

Pledoi Indonesia Menggugat Bung Karno
Pada 18 Agustus 1930, Soekarno dengan penuh keberanian membacakan pleidoinya yang legendaris, Indonesia Menggugat, di hadapan pengadilan kolonial Belanda.
Pidato pembelaan ini menjadi bentuk perlawanan intelektual terhadap penjajahan, disusun dengan penuh pemikiran kritis selama delapan bulan ia mendekam di Penjara Banceuy, Bandung.
Menggunakan kertas sederhana di balik jeruji, Soekarno merangkai kata-kata yang menggugah kesadaran rakyat akan ketidakadilan sistem kolonial.
Kisah heroik ini kemudian diabadikan dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia menjadikannya warisan perjuangan pada bangsa Indonesia.
Isi pidato Indonesia Menggugat
Kami punya modus operandi ialah untuk menyusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam cara-cara yang legal.
Ya, kami memang kaum revolusioner. Kata 'revolusioner' dalam pengertian kami berarti 'radikal', mau mengadakan perubahan dengan lekas. Istilah itu harus diartikan sebagai kebalikan kata 'sabar', kebalikan kata 'sedang'.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, sedangkan seekor cacing kalau ia disakiti, dia akan
menggeliat dan berbalik-balik. Begitu pun kami.
Kami mengetahui, bahwa kemerdekaan memerlukan waktu untuk mencapainya.
Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu tidak akan tercapai dalam satu helaan napas saja.
Suatu negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Akan tetapi, suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan.
Ya, kepercayaan, dan itulah jang kami punyai. Itulah senjata rahasia kami.
Mungkin djuga kapitalisme Barat akan runtuh. Mungkin juga, seperti sudah sering saja ucapkan, Jepang akan membantu kami. Imperialisme bercokol di tangan bangsa kulit kuning maupun di tangan bangsa kulit putih.
Sudah jelas bagi kita akan kerakusan kerajaan Jepang dengan menaklukkan semenanjung Korea dan menjalankan pengawasan atas Manchuria dan pulau-pulau di Lautan Pasifik.
Pada suatu saat yang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaya penyembelihan besar-besaran dari Jepang.
Oleh karena itu, siapakah yang dapat menentukan terlebih dulu rencana kemerdekaan dari negeri kami.
Kami berjuang dengan kejujuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki kesempatan untuk membangun harga diri daripada rakyat kami.
Saya menolak tuduhan mengadakan rencana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan bersenjata.