Suara.com - Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto membacakan nota keberatan atau eksepsi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Dalam momen itu, Hasto merasa haknya terabaikan setelah permohonan saksi meringankan tidak dihiraukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahap penyidikan.
"Penasihat hukum saya telah mengajukan permohonan resmi untuk memeriksa saksi-saksi meringankan kepada pimpinan KPK pada tanggal 4 Maret 2024. Namun, permohonan tersebut diabaikan oleh KPK," katanya, dikutip dari Antara.
Hasto Kristiyanto mengungkapkan jika KPK justru mengandalkan saksi-saksi internal yang cenderung memberatkan dirinya dengan total ada 13 penyelidik dan penyidik KPK yang menjadi saksi dalam kasusnya, termasuk Rossa Purbo Bekti.
Politisi PDIP tersebut menuturkan, semua saksi ini memberatkan dirinya. Sedangkan saksi-saksi meringankan yang pihaknya ajukan tidak diperiksa.
Hasto pun menilai jika lembaga antirasuah tersebut melanggar asas proporsionalitas dalam penyidikan kasus yang menjeratnya dengan memaksakan proses hukum yang tak seimbang dan cenderung merugikan dirinya.
Menurutnya, asas proporsionalitas merupakan prinsip dasar dalam penegakan hukum, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Asas ini mengharuskan bahwa tindakan hukum yang diambil harus seimbang dengan tingkat keseriusan pelanggaran yang diduga.
"Akan tetapi, dalam kasus ini, KPK justru melakukan penyidikan yang berlebihan dan tidak proporsional," ungkap Hasto.
Baca Juga: Hasto Tuding KPK Lakukan Operasi 5 M Dalam Penanganan Kasusnya
Diketahui, dia didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka dalam rentang waktu 2019-2024 dalam kasus dugaan perintangan penyidikan perkara korupsi Harun Masiku dan pemberian suap.
Sekjen PDIP tersebut diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.
Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu dalam kurun waktu 2019—2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif terpilih asal Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama anggota DPR periode 2019—2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dinilai kasus daur ulang perkara
Lebih lajut, Hasto Kristiyanto menilai jika kasus dugaan perintangan penyidikan dan suap yang menyeret dirinya sebagai terdakwa merupakan daur ulang perkara yang sudah diputus dan memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.
Dia pun merujuk pada kasus tersangka Harun Masiku yang sebelumnya telah diputus oleh pengadilan.
Hasto menuturkan jika dalam putusan pengadilan itu tidak ada satu pun amar putusan yang menyatakan keterlibatan dirinya.
"Dalam putusan pengadilan yang telah inkrah, tidak ada keterlibatan saya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru mendaur ulang kasus ini tanpa dasar hukum yang jelas," ujarnya.
Dengan membuka kembali kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap tanpa adanya fakta atau bukti baru, Hasto berpendapat bahwa KPK telah melanggar asas kepastian hukum.
Dia menuturkan bahwa asas kepastian hukum merupakan prinsip fundamental dalam penegakan hukum, termasuk dalam Undang-Undang (UU) KPK Nomor 19 Tahun 2019.
Maka dari itu, ia mengatakan asas kepastian hukum telah dilanggar melalui proses daur ulang, yang tidak hanya merugikan dirinya sebagai terdakwa, tetapi juga para saksi yang telah diperiksa sebelumnya.
Hasto mengungkapkan hampir seluruh saksi yang telah diperiksa dan dihadirkan dalam persidangan sebelumnya, diperiksa kembali oleh KPK dalam kasusnya.
"Sebagian besar saksi ditunjukkan cetakan atau print out pemeriksaan tahun 2020, lalu diminta menandatangani kembali dengan tanggal pemeriksaan tahun ini. Ini jelas mengabaikan fakta-fakta hukum di persidangan sebelumnya," ucapnya. (Antara)