Suara.com - Rezim Israel telah memberlakukan kembali blokade di Jalur Gaza utara, tak lama setelah melanjutkan perang genosida di wilayah Palestina.
Militer Israel memperingatkan warga Palestina di Gaza utara pada hari Kamis bahwa mereka tidak dapat menggunakan jalan raya utama untuk memasuki atau meninggalkan wilayah utara, tempat Kota Gaza juga berada.
Rezim telah mempertahankan blokade hingga Januari, ketika gencatan senjata dengan Hamas mulai berlaku setelah 15 bulan serangan gencar di Gaza.

Ratusan ribu warga Palestina kembali ke reruntuhan rumah mereka di utara setelah gencatan senjata dimulai.
Pada hari Selasa, rezim Israel mulai melakukan serangan militer lagi. Lebih dari 400 warga Palestina tewas pada hari itu saja.
Rezim menewaskan lebih dari 70 warga Palestina, termasuk banyak wanita dan anak-anak, saat mereka tidur di rumah mereka di Gaza utara dan selatan pada hari Kamis.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan gelombang serangan udara baru itu "hanya permulaan," dan berjanji bahwa pasukan Israel akan terus menggempur wilayah Palestina dengan "kekuatan penuh."
Dalam eskalasi besar, militer Israel melancarkan apa yang disebutnya "operasi darat terbatas" untuk merebut kembali kendali sebagian koridor Netzarim, jalur tanah strategis utama yang membelah Gaza menjadi dua.
Sebagai bagian dari gencatan senjata, Israel telah menarik pasukannya dari daerah tersebut.
Baca Juga: Donasi Mudah ke Palestina: Cara Aman dan Cepat Lewat OVO
Hamas membalas
Kelompok militan Hamas, yang sebelumnya tidak memberikan respons selama 48 jam pertama serangan Israel, akhirnya melancarkan serangan balasan dengan menembakkan roket ke wilayah Israel.
Militer Israel mengonfirmasi bahwa sirene peringatan berbunyi di pusat negara itu setelah proyektil ditembakkan dari Gaza.
Meski begitu, Hamas tampaknya masih dalam kondisi lemah setelah serangkaian serangan Israel dalam beberapa hari terakhir.
Selain menimbulkan ratusan korban sipil, serangan ini juga menewaskan beberapa tokoh utama Hamas, termasuk kepala pemerintahan de facto Hamas di Gaza, kepala dinas keamanan, ajudannya, serta wakil kepala kementerian kehakiman.
Namun, seorang pejabat dari salah satu kelompok militan yang bersekutu dengan Hamas mengatakan bahwa para pejuang telah disiagakan dengan ketat, menunggu instruksi lebih lanjut.
Para pemimpin kelompok militan juga diinstruksikan untuk menghindari penggunaan telepon seluler guna mencegah pelacakan oleh intelijen Israel.

Hamas mengecam operasi darat Israel sebagai pelanggaran berbahaya terhadap kesepakatan gencatan senjata yang telah berlangsung sejak Januari.
Dalam pernyataannya, Hamas menegaskan kembali komitmennya terhadap perjanjian tersebut dan meminta para mediator internasional untuk segera bertindak guna menghentikan serangan Israel.
Sementara itu, negosiasi untuk tahap kedua gencatan senjata masih menemui jalan buntu.
Hamas menuntut penghentian perang secara permanen, penarikan pasukan Israel dari Gaza, serta pertukaran sandera Israel dengan tahanan Palestina.
Namun, Israel hanya menawarkan perpanjangan gencatan senjata sementara dan menegaskan bahwa mereka akan melanjutkan operasi militer untuk menekan Hamas agar membebaskan sandera yang tersisa.
Seorang pejabat Hamas mengatakan bahwa para mediator telah meningkatkan upaya diplomatik untuk menengahi konflik, tetapi hingga saat ini belum ada terobosan yang signifikan.
Perang ini bermula pada Oktober 2023, ketika Hamas melancarkan serangan mendadak ke komunitas Israel, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 250 lainnya.
Sejak saat itu, Israel melakukan serangan balasan yang menyebabkan lebih dari 49.000 warga Palestina tewas, menurut otoritas kesehatan Gaza.
Sejak Oktober 2023, hampir 50.000 warga Palestina – umumnya wanita dan anak-anak – telah terbunuh, dan lebih dari 112.000 lainnya terluka akibat serangan militer Israel yang brutal di Gaza.