Suara.com - Amerika Serikat melancarkan serangan udara terhadap sejumlah target di ibu kota Yaman, Sanaa, pada hari Rabu, 19 Maret 2025, menurut laporan TV Al Masirah yang dikelola kelompok Houthi.
Serangan ini merupakan bagian dari serangkaian operasi militer AS sebagai respons terhadap aksi Houthi, yang berafiliasi dengan Iran, yang menyerang jalur pengiriman di Laut Merah.
Tiga warga melaporkan kepada Reuters bahwa serangan menghantam distrik Al-Jarraf di Sanaa, dekat bandara kota.
Selain itu, sebuah gedung serbaguna yang sedang dibangun di distrik Al-Thawra, kawasan perumahan di Sanaa, juga menjadi sasaran.
Menurut Anees al-Asbahi, juru bicara kementerian kesehatan yang dikuasai Houthi, serangan tersebut melukai sembilan orang yang kebanyakan wanita dan anak-anak.
Al Masirah juga melaporkan bahwa serangan menyasar direktorat Al-Suwaidia di provinsi Al-Bayda, Yaman selatan, yang dikenal sebagai lokasi militer dan gudang senjata Houthi.
Serangan ini menyusul gelombang operasi militer AS yang dimulai pada Sabtu, 15 Maret 2025, yang menewaskan sedikitnya 31 orang.
Operasi tersebut menjadi aksi militer terbesar AS di Timur Tengah sejak Presiden Donald Trump kembali menjabat pada Januari 2025.
Trump mengancam akan meminta pertanggungjawaban Iran atas serangan Houthi di masa depan, dengan peringatan konsekuensi berat.
Baca Juga: Trump Deportasi 238 Gangster Venezuela ke El Salvador, Hakim AS: Langgar Hukum!
Namun, Garda Revolusi Iran menegaskan bahwa Houthi adalah kelompok independen yang membuat keputusan strategis dan operasional sendiri.
Kelompok Houthi tampak tidak gentar dengan serangan AS. Mereka bersumpah akan meningkatkan serangan, termasuk terhadap Israel, sebagai respons terhadap kampanye militer AS.
Pada Selasa, 18 Maret 2025, Houthi mengklaim telah menembakkan rudal balistik ke Israel dan berencana memperluas jangkauan target di negara itu dalam beberapa hari ke depan.
Langkah ini disebut sebagai balasan atas serangan udara Israel di Gaza setelah periode relatif tenang.
Keesokan harinya, pada Kamis pagi, militer Israel melaporkan berhasil mencegat rudal yang diluncurkan dari Yaman sebelum memasuki wilayahnya.
Sirene peringatan berbunyi di Tel Aviv dan Yerusalem, tetapi layanan ambulans Israel menyatakan tidak ada luka serius yang dilaporkan.
Houthi kemudian mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.

"Sebuah rudal yang diluncurkan dari Yaman dicegat oleh Angkatan Udara Israel sebelum memasuki wilayah Israel. Sirene dibunyikan sesuai protokol," kata militer Israel dalam pernyataan resmi.
Houthi, bagian dari aliansi "Poros Perlawanan" yang meliputi Hamas, Hizbullah di Lebanon, dan kelompok bersenjata di Irak—semuanya didukung Iran—telah melancarkan lebih dari 100 serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah sejak perang Israel-Hamas dimulai pada akhir 2023.
Mereka mengklaim aksi ini sebagai solidaritas dengan warga Palestina di Gaza.
Serangan tersebut telah mengganggu perdagangan global dan memaksa militer AS meluncurkan operasi mahal untuk mencegat rudal Houthi.
Konflik ini berakar pada ketegangan yang lebih luas di kawasan. Houthi menargetkan kapal-kapal di Laut Merah sebagai bagian dari strategi mereka melawan kepentingan Barat dan Israel.
Sementara itu, AS dan Israel berupaya menekan kelompok tersebut melalui operasi militer.
Pada hari Sabtu, serangan AS pertama kali diluncurkan sebagai respons langsung terhadap gangguan pengiriman di Laut Merah, menandai eskalasi signifikan dalam keterlibatan AS di Yaman.
Ancaman Trump terhadap Iran menambah dimensi diplomatik dalam konflik ini, meskipun Iran bersikeras tidak mengendalikan operasi Houthi secara langsung.
Situasi terus memanas dengan Houthi yang bersikeras melanjutkan perlawanan mereka.
Serangan rudal ke Israel pada Kamis pagi menunjukkan bahwa kelompok ini tetap memiliki kemampuan dan tekad untuk memperluas konfrontasi, meskipun menghadapi tekanan militer dari AS dan Israel.
Ketegangan ini kemungkinan akan terus mengganggu stabilitas kawasan dan perdagangan internasional dalam waktu dekat.