RUU TNI Kontroversial Mau Disahkan, Alissa Wahid: Praktik yang Buruk Dalam Kehidupan Berdemokrasi

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Kamis, 20 Maret 2025 | 06:29 WIB
RUU TNI Kontroversial Mau Disahkan, Alissa Wahid: Praktik yang Buruk Dalam Kehidupan Berdemokrasi
Alissa Wahid tegaskan jaringan Gusdurian tolak revisi UU TNI. [Suara.com/Somad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Jaringan Gusdurian menolak revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI atau RUU TNI. RUU tersebut menuai protes dan kecaman dari masyarakat prodemokrasi.

Meski menimbulkan gejolak, pembahasan RUU TNI disebut sudah rampung dan akan dibawa ke tingkat II atau paripurna untuk disahkan
menjadi undang-undang pada Kamis (19/3/2025).

Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengatakan ada banyak persoalan dalam agenda tersebut, mulai tidak adanya urgensi, rapat diadakan di hotel mewah hingga penjagaan oleh Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia (Koopssus TNI), yang merupakan salah satu unit pasukan elite yang dibentuk untuk menangani aksi terorisme.

"Salah satu kekhawatiran terbesarnya adalah RUU TNI berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI yang sudah dihapus di masa presiden KH Abdurrahman Wahid," ujar Alissa Wahid dalam keterangan tertulisnya, Rabu (19/3/2025).

Putri Gus Dur ini menerangkan penghapusan Dwifungsi ABRI kemudian dirumuskan menjadi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagai bagian integral reformasi TNI.

Ia menyebut di masa orde baru, Dwifungsi ABRI diterjemahkan dalam tindakan masuknya tantara dalam segala sendi kehidupan. Dwifungsi ABRI menjadi alat untuk mencampuri urusan semua pihak tanpa terbendung lagi.

"Orang sipil seolah-olah tidak mempunyai hak sama sekali untuk menentukan segala sesuatu tanpa izin ABRI, seperti pemilihan lurah dan sebagainya. Masuknya ABRI untuk mengurusi semua bidang mematahkan inisiatif di bawah. Masyarakat merasa tidak ada gunanya lagi mencari alternatif karena akan dikalahkan alternatif dari militer. Hal ini merupakan praktik yang buruk dalam kehidupan berdemokrasi," kata dia.

Menurutnya dalam sistem demokrasi yang sehat, militer harus berada di bawah kontrol sipil dan tidak memiliki peran langsung dalam pemerintahan atau politik. Hal ini dikarenakan demokrasi mengutamakan supremasi sipil, yakni pemerintahan dijalankan oleh warga sipil yang dipilih secara demokratis.

"Dwifungsi militer akan mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, sehingga melemahkan kontrol sipil atas angkatan bersenjata," jelasnya.

Baca Juga: Aksi Mahasiswa Trisakti Tolak RUU TNI, Menkum Dicegat Diminta Dengarkan Aspirasi

Untuk itu, Jaringan Gusdurian menyatakan sikap sebagai berikut:

Pertama, menolak revisi UU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi TNI/Polri. Prajurit aktif harus fokus pada tugas pertahanan negara, bukan politik atau administrasi pemerintahan. Keterlibatan prajurit aktif dalam politik dapat mengurangi profesionalisme dan membuat tentara abai terhadap tugas utamanya sebagai penjaga kedaulatan negara. Selain itu, dengan kekuatan bersenjata dan posisi strategis dalam pemerintahan, tentara berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, melanggar HAM, dan bersikap represif terhadap masyarakat.

Kedua, mengecam pembahasan RUU TNI yang tidak transparan dan cenderung menghindari pengawasan publik. Apalagi rapat tersebut menggunakan fasilitas mewah di tengah banyaknya jargon efisiensi yang berimbas pada memburuknya pelayanan publik di berbagai sektor.

Ketiga, mengajak Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara dengan menolak bentuk-bentuk pelemahan demokrasi. Menyetujui RUU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi TNI/Polri adalah bentuk pengkhianatan pada reformasi.

Keempat, mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal demokrasi dan semangat reformasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil.

Kelima, mengajak seluruh penggerak Gusdurian untuk melakukan konsolidasi nasional bersama jejaring masyarakat sipil di berbagai titik guna mengamati dinamika sosial dan politik serta menyiapkan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan
demokrasi.

Presiden Prabowo Subianto.
Presiden Prabowo Subianto. (ist)

Sebelumnya Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto dan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Budi Djiwandono menemui Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu sore. Pertemuan ini dilakukan satu hari menjelang pengesahan Rancangan Undang-Undang TNI melalui rapat paripurna yang dikabarkan akan digelar pada Kamis (20/3/2025).

Utut menjelaskan bahwa Prabowo menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang

"Iya (bahas RUU TNI), tetapi bukan hanya itu. Beliau bercerita konsep dari...," kata Utut saat ditanya oleh sejumlah awak media usai bertemu Prabowo.

Adapun berdasarkan undangan Rapat Paripurna yang diterima wartawan diberitahukan bahwa DPR RI akan menggelar Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis (20/3) pagi sekitar pukul 9.30 WIB.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI