Suara.com - Koalisi masyarakat sipil menentang keras Revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menjadi kontroversi.
Penolakan disampaikan karena revisi undang-undang tersebut bakal mengembalikan Dwifungsi TNI seperti era Orde Baru.
Koordinator komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya mengatakan bahwa agenda Revisi UU TNI yang sedang digodok, tidak memiliki urgensi transformasi militer ke arah yang profesional.
Bahkan, menurutnya hal tersebut akan melemahkan profesionalisme militer.
"Sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil," kata Dimas, di YLBHI, Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025).
Dimas menilai bahwa dalam konteks reformasi sektor keamanan, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui Revisi UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Agenda revisi undang-undang ini, kata Dimas, dinilai lebih penting ketimbang RUU TNI karena agenda itu merupakan kewajiban konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) bagi semua warga negara, tanpa kecuali.
Reformasi peradilan militer merupakan mandat TAP MPR No VII Tahun 2000 dan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI dinilai justru malah mengembalikan Dwifungsi TNI yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil.
“Perluasan penempatan TNI aktif itu tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda,” jelasnya.
Baca Juga: YLBHI Geram: Kritik RUU TNI Dibalas Laporan Polisi, Upaya Pembungkaman?
Selain itu, jabatan sipil yang diisi prajurit aktif juga bisa memarginalkan pihak ASN dalam akses posisi-posisi strategis.
Perluasan jabatan sipil dalam RUU TNI itu diantaranya adalah dengan menempatkan militer aktif di Kejaksaan Agung hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Ingat, TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang; sedangkan Kejaksaan Agung, adalah lembaga penegak hukum. Maka, salah jika anggota TNI aktif duduk di institusi Kejaksaan Agung,” katanya.
"Dan salah, jika ingin menempatkan militer aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dua contoh itu cerminan praktik Dwifungsi TNI," ucapnya.
Sementara itu, Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengatakan, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI, jika pihak TNI sebaiknya segera mengundurkan diri atau pensiun dini.
![Ketua YLBHI Muhammad Isnur. [Suara.com/Faqih]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/17/59734-ketua-ylbhi-muhammad-isnur.jpg)
Sejauh ini, banyak anggota TNI aktif yang menjabat dalam bidang yang seharusnya diisi oleh sipil, diantaranya Letkol Tedy sebagai Sekretaris Kabinet dan Kepala Sekretariat Presiden Mayor Jenderal Ariyo Windutomo.
Lebih dari itu, seluruh kerja sama TNI didasarkan pada beragam MoU yang memberi ruang militer masuk dalam ranah sipil dengan dalih operasi militer, selain perang perlu ditinjau ulang karena tidak sejalan dengan UU TNI.
Keputusan Politik
Isnur menilai, pelibatan militer dalam operasi selain perang hanya bisa dilakukan atas dasar keputusan politik negara bukan melalui MoU sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7ayat 3 UU TNI.
Tidak dibenarkan konstruksi politik hukum RUU TNI untuk menjustifikasi berbagai pelanggaran yang sudah ada.
“Kami memandang bahwa perluasan tugas militer untuk menangani narkotika adalah keliru dan bisa berbahaya bagi negara hukum. Penanganan masalah narkotika utamanya berada dalam koridor kesehatan, penegakkan hukum yang proporsional, bukan perang. Pelibatan TNI dalam mengatasi narkotika akan melanggengkan penggunaan war model," jelasnya.
Selama ini, model penegakkan hukum dalam mengatasi penyalahgunaan narkotika seringkali bermasalah dan aparat juga tidak proporsional dalam mengatasi narkoba.
Terlebih, nanti jika menggunakan war model dengan melibatkan militer. Tentunya hal ini akan menimbulkan terjadinya kekerasan yang berlebihan yang serius.
Hal ini, lanjut Isnur, telah terjadi di Filipina masa Rodrigo Duterte. Saat era pemerintahannya, Duterte setempat melibatkan militer dalam penyalahgunaan narkotika, dan hasilnya tidak cukup baik karena telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM.
"MelibatkanTNI dalam menangani narkoba sebagaimana diatur dalam RUU TNI akan menempatkan TNI rentan menjadi pelaku pelanggaran HAM," ujar Isnur.
Bahaya lain dari RUU TNI adanya revisi klausul pelibatan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP) tanpa perlu persetujuan DPR.
TNI ingin operasi militer selain perang cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Padahal, operasi semacam itu termasuk kebijakan politik negara, yakni Presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur oleh pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004.
RUU TNI ingin menghilangkan peran parlemen sebagai wakil rakyat. Tentunya, lanjut Isnur, hal ini akan menimbulkan konflik kewenangan atau tumpang tindih dengan lembaga lain dalam mengatasi masalah di dalam negeri.
Secara tersirat, perubahan pasal itu merupakan bentuk pengambilalihan kewenangan wakil rakyat oleh TNi dalam operasi militer selain perang dan menghilangkan kontrol sipil.
“Kami menilai, Revisi ini hanya untuk melegitimasi mobilisasi dan ekspansi keterlibatan prajurit TNI dalam permasalahan domestik seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), distribusi Gas Elpiji, ketahanan pangan, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan bahkan sampai pengelolaan ibadah haji,” ungkapnya.
RUU TNI dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) TNI yang disampaikan Pemerintah ke DPR dianggap mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia.
"Kami justru mendesak Pemerintah dan DPR untuk modernisasi alutsista, memastikan TNI adaptif terhadap ancaman eksternal, meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI dan memperhatikan keseimbangan gender dalam organisasi TNI," katanya.