Suara.com - Dokter-dokter Australia yang berada di garis depan sistem kesehatan Gaza yang terpuruk menggambarkan keadaan yang sangat buruk di tengah gencatan senjata yang rapuh dan terancam batal di wilayah konflik tersebut.
Ahli bedah saraf Dr. Mohammad Awad dan Dr. Chris Holden merupakan beberapa warga Australia yang berhasil memasuki Gaza di tengah perselisihan Hamas-Israel.
Akses ke wilayah itu sangat terbatas karena Israel menguasai ruang udara, perairan teritorial, dan dua dari tiga titik perbatasan Gaza, sementara satu titik lainnya berada di bawah kontrol Mesir.
Awad baru saja kembali ke Melbourne setelah dua minggu menjadi relawan di rumah sakit-rumah sakit di Gaza, yang umumnya kewalahan, kekurangan tenaga medis, serta kekurangan peralatan dan sumber daya, seperti yang dilaporkan oleh SBS News pada hari Minggu.
"Anda sering melihatnya di TV dan media sosial, tetapi sangat berbeda saat menyaksikannya secara langsung. Itu benar-benar mengejutkan," katanya kepada SBS.
"Tingkat kehancuran yang ada hampir terasa tidak nyata; saya rasa Anda tidak akan pernah benar-benar siap sampai melihatnya dengan mata sendiri."
Selama berada di Gaza, Awad terutama menangani pasien dengan tumor otak atau gangguan tulang belakang yang tidak ditangani akibat perang, serta korban luka tembak di kepala atau tulang belakang, dan cedera akibat pecahan peluru.
Ia menggambarkan kebutuhan medis di Gaza sebagai sangat mendesak, dengan rumah sakit penuh sesak oleh pasien rawat inap dan rawat jalan, serta banyak orang lainnya yang hanya "berkeliaran di sekitar rumah sakit tanpa tempat lain untuk pergi."
Sebagian besar wilayah Gaza juga mengalami pemadaman listrik dan kesulitan mendapatkan air bersih selama perang.

Sistem kesehatan Gaza telah runtuh
Dr. Holden, yang selama sebulan terakhir menjadi relawan di Gaza bersama Asosiasi Medis Palestina Australia Selandia Baru (PANZMA), mengaku terkejut dengan tingkat kehancuran serta keruntuhan sistem layanan kesehatan di wilayah yang diblokade tersebut.
"Ada banyak tantangan di lapangan. Banyak infrastruktur fasilitas medis yang hancur, dan yang tersisa pun kewalahan. Ditambah dengan blokade pasokan yang masuk, rumah sakit menjadi sangat kekurangan sumber daya," kata Holden kepada SBS.
Ia menambahkan bahwa kehancuran dan keruntuhan sistem kesehatan itu menyebabkan "banyak kematian dan penderitaan yang seharusnya dapat dihindari."
Salah satu pasien yang ia tangani adalah seorang gadis berusia enam tahun yang menderita luka di wajah, kepala, dan mata kirinya setelah proyektil mengenai tenda tempat keluarganya tidur.
Tak ada mesin MRI di Gaza
![Magnetic Resonance Imaging (MRI). [Peggy und Marco Lachmann-Anke/Pixabay]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/08/20/64516-magnetic-resonance-imaging.jpg)
Menurut Awad, tidak ada satu pun mesin pemindai MRI yang berfungsi di seluruh Jalur Gaza. Semua mesin yang ada mengalami kerusakan dan tidak dapat diperbaiki akibat perang.
"Sebagai ahli bedah saraf, kami sangat bergantung pada pemindaian MRI untuk melihat kondisi otak dan tulang belakang pasien. Namun, karena tidak tersedia, kami harus mengambil keputusan hanya berdasarkan CT scan, yang jauh lebih sulit," jelasnya.
"Melakukan operasi pada anak-anak dengan tumor otak hanya berdasarkan CT scan merupakan tantangan besar."
Dokter setempat mengalami kelelahan yang luar biasa, kehabisan tenaga, dan banyak dari mereka belum memiliki pengalaman atau pelatihan internasional yang memadai.
Bagi Awad, meninggalkan Gaza adalah pengalaman yang "dilematis dan menyentuh hati."
Ia berharap dapat terus berkomunikasi dengan dokter-dokter di sana dan memberikan dukungan jarak jauh dalam penanganan pasien.