Dr. Holden, yang selama sebulan terakhir menjadi relawan di Gaza bersama Asosiasi Medis Palestina Australia Selandia Baru (PANZMA), mengaku terkejut dengan tingkat kehancuran serta keruntuhan sistem layanan kesehatan di wilayah yang diblokade tersebut.
"Ada banyak tantangan di lapangan. Banyak infrastruktur fasilitas medis yang hancur, dan yang tersisa pun kewalahan. Ditambah dengan blokade pasokan yang masuk, rumah sakit menjadi sangat kekurangan sumber daya," kata Holden kepada SBS.
Ia menambahkan bahwa kehancuran dan keruntuhan sistem kesehatan itu menyebabkan "banyak kematian dan penderitaan yang seharusnya dapat dihindari."
Salah satu pasien yang ia tangani adalah seorang gadis berusia enam tahun yang menderita luka di wajah, kepala, dan mata kirinya setelah proyektil mengenai tenda tempat keluarganya tidur.
Tak ada mesin MRI di Gaza
![Magnetic Resonance Imaging (MRI). [Peggy und Marco Lachmann-Anke/Pixabay]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/08/20/64516-magnetic-resonance-imaging.jpg)
Menurut Awad, tidak ada satu pun mesin pemindai MRI yang berfungsi di seluruh Jalur Gaza. Semua mesin yang ada mengalami kerusakan dan tidak dapat diperbaiki akibat perang.
"Sebagai ahli bedah saraf, kami sangat bergantung pada pemindaian MRI untuk melihat kondisi otak dan tulang belakang pasien. Namun, karena tidak tersedia, kami harus mengambil keputusan hanya berdasarkan CT scan, yang jauh lebih sulit," jelasnya.
"Melakukan operasi pada anak-anak dengan tumor otak hanya berdasarkan CT scan merupakan tantangan besar."
Dokter setempat mengalami kelelahan yang luar biasa, kehabisan tenaga, dan banyak dari mereka belum memiliki pengalaman atau pelatihan internasional yang memadai.
Bagi Awad, meninggalkan Gaza adalah pengalaman yang "dilematis dan menyentuh hati."