Akademisi UI Jelaskan Poin Berbahaya RUU TNI: dari Kata-kata Halus hingga Kembalinya Bisnis Militer Era Orba

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Senin, 17 Maret 2025 | 07:52 WIB
Akademisi UI Jelaskan Poin Berbahaya RUU TNI: dari Kata-kata Halus hingga Kembalinya Bisnis Militer Era Orba
Ilustrasi TNI [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rencana DPR lakukan Revisi Undang-Undang (RUU) TNI dapat penolakan dari publik karena dikhawatirkan mengembalikan dwifungsi TNI.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Bivitri Susanti, menjelaskan bahwa ada beberapa aturan dalam RUU TNI itu yang memang harus disoroti.

Salah satu yang krusial ialah potensi adanya bisnis militer, hal serupa yang juga pernah terjadi ketika masa orde baru.

Bivitri menjelaskan bahwa aturan dalam UU TNI memang tidak tertulis secara rinci mengenai bisnis militer. Akan tetapi, dia meminta publik untuk memahami arti UU secara lebih luas.

"Kita kalau membaca undang-undang itu memang harus beyond text, harus melampaui apa yang tertulis. Karena misalnya saja kalau untuk bisnis militer itu memang kata-katanya tidak seperti misalnya semua TNI, anggota TNI bisa melakukan bisnis, nggak seperti itu. Tapi hanya kata-kata yang pada intinya memberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi," kata Bivitri dalam diskusi online bersama Koreksi, Minggu (16/3/2025) malam.

"Sehingga kemudian yang disampaikan kepada masyarakat adalah misalnya, oh ini untuk istri prajurit yang harus buka warung. Padahal kita paham maksudnya bukan itu," Bivitri menambahkan.

Implikasi dari aturan itu sebenarnya berkaitan dengan pasal modal untuk membuka kembali peluang adanya bisnis militer. Bivitri mengingatkan kalau hal seperti itu sudah pernah terjadi ketika masa orde baru. Hingga akhirnya pada awal tahun 2000 dibentuk satu satgas untuk membereskan bisnis militer yang diketuai oleh akademisi Erry Riyana Hardjapamekas.

"Waktu itu ketuanya Pak Erry Riyana Hardjapamekas salah satunya dan ada beberapa kawan yang membantu. Jadi itu memang sangat bermasalah waktu zaman Orde Baru," ujarnya.

Hal lain yang paling harus disoroti juga terkait potensi makin banyaknya jabatan sipil yang akan diemban oleh anggota TNI aktif.

Baca Juga: Adu Pendidikan Fedi Nuril Vs Zarry Hendrik, Berdebat di X gegara Revisi UU TNI

"Tadinya kan 10 jabatan, sekarang diusulkan 15. Tapi menurut saya ini bukan soal dari 10 ke 15, bukan soal tawar menawar, tapi dampaknya," ucap Bivitri.

Wakil Koordinator KontraS Andri Yunus. [Suara.com/Yaumal]
Wakil Koordinator KontraS Andri Yunus. [Suara.com/Yaumal]

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menambahkan, keterlibatan anggota aktif TNI dalam jabatan sipil sebenarnya berisiko melemahkan militer itu sendiri. Serta melemahkan fungsi utama dari militer, yaitu pertahanan negara.

Dia memaparkan bahwa fungsi militer dalam pertahanan negara seharusnya bertugas untuk menjaga integritas teritori atau wilayah, menjaga kedaulatan negara, dan menjaga keselamatan segenap bangsa Indonesia.

"Jadi ketika ada serangan musuh asing yang mengancam kedaulatan negara, itu tugas yang dijalankan oleh militer," tuturnya.

Dia menegaskan kalau tugas utama anggota aktif militer harusnya berlatih. Tidak seperti masyarakat sipil, program latihan militer tentu lebih berat dan dilengkapi dengan senjata. Usman menekankan bahwa tugas tersebut hanya bisa dilakukan oleh TNI bila fokus dengan fungsi utamanya.

"Membangun strategi pertahanan, membangun sistem persenjataan modern, membangun sistem pendeteksian dini atas serangan, termasuk serangan siber, membangun alat-alat utama sistem persenjataan, itu tidak mudah. Itu tugas-tugas yang sangat berat. Tidak mungkin bisa dilakukan oleh kementerian yang lain, lembaga yang lain, bahkan oleh polisi sekalipun," pungkas Usman.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI