Suara.com - Sore yang cerah di sebuah lapangan kecil di Semail, Sewon, Bantul. Anak-anak berlarian, tertawa riang, kaki-kaki kecil mereka berkejaran dengan bola yang menggelinding di rerumputan. Di kejauhan, seorang pemuda berdiri terpaku. Tatapan matanya kosong, tubuhnya ringkih, pakaian yang membalutnya lusuh dan kotor. Aminudin, begitu ia dipanggil, melangkah perlahan, mendekati permainan yang tampak begitu menyenangkan.
Namun, kehadirannya justru membuat riuh berubah cemas. Anak-anak mendadak berhenti bermain, berlarian menjauh.
"Awas, jangan dekat-dekat! Ada orang gila!" seru seorang ibu sambil menarik anaknya menjauh.
Seperti sudah terbiasa, Aminudin hanya berdiri di sana, diam tanpa ekspresi. Sejenak ia memperhatikan anak-anak yang sudah menjauh, lalu berbalik dan kembali berjalan tanpa arah. Tak ada yang ingin mendekatinya, tak ada yang mencoba memahami keinginannya.
“Sebenarnya kasihan Aminudin. Dia itu cuma pengin ikut main bareng, tapi nggak ada yang mau. Pada takut,” ujar Shobirin, pamannya, saat berbincang dengan Suara.com, Jumat (7/3/2025).
Dunia yang Menolak
Aminudin bukanlah seorang asing di desanya. Ia lahir dengan disabilitas mental di tengah keluarga yang hidup dalam keterbatasan. Ayahnya seorang buruh serabutan, ibunya seorang ibu rumah tangga yang setia merawatnya.
Di tahun 2008 saat Aminudin berusia tujuh tahun, ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Setiap hari, ayahnya mengantarnya ke sekolah, menunggu hingga kelas berakhir, lalu membawa pulang anak yang selalu butuh pendampingan itu. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Kurang dari setahun, pihak sekolah menyerah.
"Katanya percuma sekolah, sudah tidak ada harapan lebih baik. Sekolahnya angkat tangan, jadi dia terpaksa berhenti,” kata Shobirin.
Tanpa alternatif, tanpa solusi, Aminudin dikeluarkan dari sekolah. Tak hanya kehilangan kesempatan belajar, Aminudin juga kehilangan hak untuk mendapat perawatan medis yang layak. Keterbatasan ekonomi membuat keluarganya tak mampu membawanya ke dokter atau menjalani terapi khusus. Beban hidup yang terus menumpuk membuat sang ayah semakin tertekan. Depresi menggerogoti hingga akhirnya merenggut nyawanya.
Kehilangan ayahnya seolah menjadi awal dari penderitaan baru bagi Aminudin. Alih-alih mendapatkan perlindungan, Aminudin malah menjadi sasaran ketakutan dan stigma warga sekitar tempat tinggalnya. Warga mulai menganggapnya sebagai gangguan. Cap ‘orang gila’ disematkan begitu saja tanpa memahami siapa Aminudin sebenarnya. Hingga suatu hari, warga membawanya paksa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia, Sleman.
Kehilangan anak satu-satunya membuat Parjiah, sang ibu, semakin terpuruk. Ia mengamuk, menjerit di depan rumah, menangisi nasib yang merenggut keluarganya satu per satu. Tak lama kemudian, warga memutuskan menjemput Aminudin dari RSJ dan mengembalikannya kepada ibunya. Parjiah menyambutnya dengan pelukan erat, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Trauma telah mengubahnya.
Ia kini lebih banyak diam, lebih sering mengurung diri di kamar, tak lagi peduli pada dirinya sendiri. Hari-harinya hanya diisi dengan mengasuh Aminudin yang kini sudah berusia 23 tahun.
“Kakak saya jadi depresi sejak saat itu. Tidak pernah mandi, tidak bisa kerja. Cuma ngurusin anaknya saja. Mereka berdua hidup dari belas kasihan warga, ada yang antar makan tiap hari,” ujar Shobirin.
Kisah Aminudin yang kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak hanyalah sebagian kecil persoalan yang dialami oleh para penyandang disabilitas di Indonesia. Padahal, anak penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak non disabilitas lainnya. Hak ini telah dijamin dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 10. Namun kenyataannya, masih banyak ditemui anak penyandang disabilitas yang kesulitan memeroleh haknya.
Dunia Pendidikan untuk Penyandang Disabilitas
Indonesia belum memiliki data induk yang merekam jumlah dan ragam disabilitas di berbagai penjuru negeri. Merujuk pada data UNICEF 2021, jumlah anak penyandang disabilitas secara global tercatat ada sebanyak 240 juta anak, satu dari sepuluh anak merupakan penyandang disabilitas. Sementara itu, tidak ada angka pasti untuk menggambarkan jumlah anak disabilitas di Indonesia. Diperkirakan jumlah anak penyandang disabilitas antara 425.000 hingga dua juta anak. Hal ini disebabkan banyaknya sumber data yang memberikan jumlah berbeda-beda.
Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) tahun 2015 mencatat jumlah anak penyandang disabilitas sebanyak 566.997 anak dengan rentang usia 2-17 tahun. Sementara itu, perbedaan mencolok terlihat pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018 mencatat sebanyak 1.994.245 anak penyandang disabilitas berusia 2-17 tahun, dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sebanyak 831.546 anak penyandang disabilitas berusia 5-17 tahun.
Data Susenas 2018-2021 menyoroti penurunan jumlah anak penyandang disabilitas hampir setengah selama beberapa tahun. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menelusuri penyebab penurunan signifikan tersebut mengingat kuesioner untuk mengukur disabilitas tidak berubah selama periode tersebut.
Sementara itu, merujuk data dari ‘Buku Penduduk Berkualitas Menuju Indonesia Emas 2045’ yang dikeluarkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas), pada tahun 2024 diperkirakan ada 50 ribu bayi penyandang disabilitas dari total 4,56 juta bayi yang lahir. Pemerintah harus mempersiapkan diri menyambut generasi baru agar mereka bisa mendapatkan hak pendidikan di masa mendatang.
Selain dijamin oleh UU, hak anak penyandang disabilitas juga dijamin dalam Konvensi PBB untuk Hak-hak Anak Pasal 23 yang berbunyi 'Setiap anak dengan disabilitas berhak atas pendidikan, pelatihan dan perlindungan khusus agar dapat menjalani kehidupan secara penuh’.
Sejak ratifikasi Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD) pada tahun 2011, pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen untuk merangkul penyandang disabilitas, salah satunya dengan menggalakkan sekolah inklusif yang mengalami peningkatan sebesar 29 persen dari tahun 2020 hingga 2021. Namun, kenyataannya anak-anak penyandang disabilitas masih kesulitan dalam mengakses pendidikan dibandingkan dengan anak-anak tanpa disabilitas.
Di sektor pendidikan, tercatat tiga dari 10 anak penyandang disabilitas tidak pernah sekolah, hanya 56 persen anak penyandang disabilitas lulus Sekolah Dasar merujuk hasil Susenas 2018. Sementara itu, berdasarkan data Statistik Pendidikan 2018, hanya 5,48 persen anak penyandang disabilitas usia lima tahun ke atas yang masih sekolah, 23,91 persen anak penyandang disabilitas tidak sekolah sama sekali dan 70,62 persen anak disabilitas berhenti sekolah.
Lebih jauh lagi, merujuk pada data Analisis Lanskap tentang Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia yang dikeluarkan oleh UNICEF pada 2023, anak penyandang disabilitas yang tinggal di perdesaan dua kali lipat lebih banyak tidak sekolah di tingkat SD dibandingkan dengan anak penyandang disabilitas yang tinggal di perkotaan.
Fenomena serupa juga dialami oleh anak penyandang disabiloitas yang hidup dalam kemiskinan memiliki kemungkinan kecil untuk mengenyam pendidikan dibandingkan dengan anak penyandang disabilitas yang berasal dari keluarga tidak miskin.
Anak penyandang disabilitas yang hidup dalam kemiskinan berpotensi 45 persen lebih tinggi tidak sekolah di tingkat SD, 31 persen tingkat kemungkinan tidak sekolah di tingkat SMP dan 23 persen di tingkat SMA dibandingkan dengan anak penyandang disabilitas dengan keluarga tidak miskin. Data ini diperkuat dengan temuan Indonesia Corruption Watch 2021 yang menemukan orang tua dari anak penyandang disabilitas harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk memastikan anak mereka bisa mendapatkan akses pendidikan, khususnya di sekolah inklusif. Biaya tambahan yang harus dikeluarkan, termasuk untuk membayar guru bantu dan transportasi antara Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Hal ini mengindikasikan anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin semakin sulit mengakses pendidikan karena harus mengeluarkan biaya tambahan lebih besar.
Pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan Program Indonesia Pintar yang memberikan bantuan uang tunai untuk pelajar yang memenuhi syarat, yakni anak yatim piatu, anak dari keluarga miskin , anak putus sekolah dan anak penyandang disabilitas. Namun, dalam laporan UNICEF hanya sekitar enam persen anak penyandang disabilitas yang mendapatkan program tersebut. Mereka juga dihadapkan dengan kondisi keterlambatan pengiriman dana hingga dana yang didapatkan seringkali digunakan untuk tujuan nonpendidikan.
Hasil riset ‘Situasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas’ yang dilakukan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) di DI Yogyakarta tahun 2022 menemukan fakta banyak anak-anak kehilangan hak pendidikan lantaran masih minimnya jumlah sekolah inklusif dan Sekolah Luar Biasa yang ada di wilayah DI Yogyakarta. Tercatat ada 79 SLB di wilayah DIY, 70 sekolah diantaranya dikelola oleh swasta. Meskipun sekolah umum telah didorong menjadi sekolah inklusif, sekolah tersebut seringkali dihadapkan dengan sumber daya guru yang terbatas.
"Situasi ini menjadikan anak sering kali mengalami penolakan atau tidak mendapatkan layanan pendidikan yang optimal," kata Irmaningsih Pudyastuti, staf Women Disability Crisis Center SAPDA saat dihubungi Suara.com, Jumat (14/3/2025).
Irma menjelaskan, hambatan lain yang dihadapi oleh anak penyandang disabilitas untuk memperoleh hak mereka mengenyam pendidikan adalah minimnya sekolah asrama yang mengajarkan kemandirian. Beberapa sekolah sudak menerapkan sistem asrama dan pendidikan berbasis aktivitas harian mandiri untuk anak penyandang disabilitas. Tercatat ada dua SLB negeri yang menyediakan asrama, yakni di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul. Namun, jumlah pendamping yang terbatas menyebabkan kuota penerimaan anak didik ikut dibatasi.
Selain itu, stigma juga menjadi salah satu penghambat utama dan menjadi penyebab perundungan hingga berujung pada kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru dan teman sebaya.
"Dari riset juga ditemukan adanya kedaruratan pendidikan kesehatan reporduksi, karena masih banyak orang tua kesulitan dalam menyampaikan informasi seputar kesehatan reproduksi," ujar Irma.
Membenahi Pendidikan yang Setara untuk Penyandang Disabilitas
Berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan oleh SAPDA, Irma berharap agar pemerintah bisa fokus meminimalisir situasi kerentanan anak penyandang disabilitas dalam pendidikan, yakni menyediakan informasi ketersediaan sekolah khusus dan sekolah inklusif yang komprehensif dan dapat dijangkau oleh keluarga dengan anak penyandang disabilitas, menyediakan informasi dukungan berupa asesmen terhadap anak penyandang disabilitas pra sekolah, memastikan sekolah memberikan pemahaman tentang inklusifitas dan anak berkebutuhan khusus untuk seluruh warga sekolah dalam mendukung program sekolah inklusif.
Tak hanya itu, pemerintah juga perlu meningkatkan jumlah guru kelas dan guru pendamping khusus yang mampu memahami situasi anak penyandang disabilitas sehingga dapat memberikan pembelajaran yang sesuai.
"Perlu diupayakan juga untuk menyediakan sekolah yang bisa menjangkau anak-anak disabilitas yang kesulitan secara mobilitas atau mental untuk bergabung dalam kegiatan belajar reguler di dalam kelas," kata Irma.
Selain fokus pada aksesibilitas dan mobilitas, pemerintah juga dinilai perlu fokus membuat program persiapan bagi anak penyandang disabilitas untuk memasuki dunia kerja setelah lulus sekolah.
Sementara itu, Perwakilan UNICEF untuk Indonesia, Maniza Zaman menyebut setiap anak berhak mendapatkan peluang yang sama untuk berkembang tanpa memandang kemampuan mereka. Namun, anak penyandang disabilitas seringkali menghadapi ketidaksetaraan dalam semua aspek perkembangan.
"Kita harus mengakui dan mengatasi tantangan ini agar Indonesia benar-benar inklusif dan bisa memanfaatkan potensi tanpa batas setiap anak," ujar Maniza dalam siaran pers yang diterima Suara.com.
Dalam laporan Analisis Lanskap Anak-anak dengan Disabilitas di Indonesia yang diluncurkan oleh UNICEF, UNICEF memberikan rekomendasi prioritas tinggi jangka pendek untuk sektor pendidikan, yakni mengembangkan program pemantauan dan skrining perkembangan berbasis sekolah yang sistematis dengan jalur rujukan.
Spesialis Komunikasi UNICEF Indonesia, Kinanti Pinta Karana mengatakan, rekomendasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal terkait disabilitas serta memberikan dukungan dan intervensi yang berpusat pada keluarga dan anak.
Selain itu, UNICEF juga merekomendasikan agar pemerintah pusat melakukan analisis sektor pendidikan inklusif untuk memberikan informasi berbasis bukti dalam upaya memperkuat sistem pendidikan inklusif di seluruh tingkat pendidikan.
"Penelitian ini akan mengidentifikasi isu-isu terkait pasokan, kualitas, dan permintaan, serta disparitas dalam akses dan pembelajaran untuk anak penyandang disabilitas," kata Kinanti saat dikonfirmasi Suara.com.
Di sisi lain, Shobirin, paman Aminudin mengaku sudah tidak banyak berharap dengan pendidikan untuk sang keponakan yang mengalami disabilitas. Di usia Aminudin yang menginjak 23 tahun, Shobirin merasa sudah sangat terlambat untuk mengejar berbagai ketertinggalan keponakannya. Kini, ia hanya berharap Aminudin bisa mendapatkan penghidupan yang layak dan diperlakukan setara seperta orang tanpa disabilitas di tengah masyarakat.
Shobirin bercerita, hingga kini Aminudin seringkali mendapatkan stigma buruk dari masyarakat. Tak sedikit orang yang mengganggu Aminudin hingga mengejeknya karena ia memiliki kondisi khusus. Shobirin ingin agar pendidikan di Indonesia dapat mengubah pandangan masyarakat terhadap seseorang dengan penyandang disabilitas.
“Setidaknya perlakukan dia (Aminudin) sama dengan orang normal. Biar dia bisa hidup seperti orang normal, tidak diejek, dijahili. Kalau bisa memilih, saya yakinlah dia gak mau jadi disabilitas. Jadi saling mengerti saja,” ujar Shobirin.