Di sektor pendidikan, tercatat tiga dari 10 anak penyandang disabilitas tidak pernah sekolah, hanya 56 persen anak penyandang disabilitas lulus Sekolah Dasar merujuk hasil Susenas 2018. Sementara itu, berdasarkan data Statistik Pendidikan 2018, hanya 5,48 persen anak penyandang disabilitas usia lima tahun ke atas yang masih sekolah, 23,91 persen anak penyandang disabilitas tidak sekolah sama sekali dan 70,62 persen anak disabilitas berhenti sekolah.
Lebih jauh lagi, merujuk pada data Analisis Lanskap tentang Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia yang dikeluarkan oleh UNICEF pada 2023, anak penyandang disabilitas yang tinggal di perdesaan dua kali lipat lebih banyak tidak sekolah di tingkat SD dibandingkan dengan anak penyandang disabilitas yang tinggal di perkotaan.
Fenomena serupa juga dialami oleh anak penyandang disabiloitas yang hidup dalam kemiskinan memiliki kemungkinan kecil untuk mengenyam pendidikan dibandingkan dengan anak penyandang disabilitas yang berasal dari keluarga tidak miskin.
Anak penyandang disabilitas yang hidup dalam kemiskinan berpotensi 45 persen lebih tinggi tidak sekolah di tingkat SD, 31 persen tingkat kemungkinan tidak sekolah di tingkat SMP dan 23 persen di tingkat SMA dibandingkan dengan anak penyandang disabilitas dengan keluarga tidak miskin. Data ini diperkuat dengan temuan Indonesia Corruption Watch 2021 yang menemukan orang tua dari anak penyandang disabilitas harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk memastikan anak mereka bisa mendapatkan akses pendidikan, khususnya di sekolah inklusif. Biaya tambahan yang harus dikeluarkan, termasuk untuk membayar guru bantu dan transportasi antara Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Hal ini mengindikasikan anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin semakin sulit mengakses pendidikan karena harus mengeluarkan biaya tambahan lebih besar.
Pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan Program Indonesia Pintar yang memberikan bantuan uang tunai untuk pelajar yang memenuhi syarat, yakni anak yatim piatu, anak dari keluarga miskin , anak putus sekolah dan anak penyandang disabilitas. Namun, dalam laporan UNICEF hanya sekitar enam persen anak penyandang disabilitas yang mendapatkan program tersebut. Mereka juga dihadapkan dengan kondisi keterlambatan pengiriman dana hingga dana yang didapatkan seringkali digunakan untuk tujuan nonpendidikan.
Hasil riset ‘Situasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas’ yang dilakukan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) di DI Yogyakarta tahun 2022 menemukan fakta banyak anak-anak kehilangan hak pendidikan lantaran masih minimnya jumlah sekolah inklusif dan Sekolah Luar Biasa yang ada di wilayah DI Yogyakarta. Tercatat ada 79 SLB di wilayah DIY, 70 sekolah diantaranya dikelola oleh swasta. Meskipun sekolah umum telah didorong menjadi sekolah inklusif, sekolah tersebut seringkali dihadapkan dengan sumber daya guru yang terbatas.
"Situasi ini menjadikan anak sering kali mengalami penolakan atau tidak mendapatkan layanan pendidikan yang optimal," kata Irmaningsih Pudyastuti, staf Women Disability Crisis Center SAPDA saat dihubungi Suara.com, Jumat (14/3/2025).
Irma menjelaskan, hambatan lain yang dihadapi oleh anak penyandang disabilitas untuk memperoleh hak mereka mengenyam pendidikan adalah minimnya sekolah asrama yang mengajarkan kemandirian. Beberapa sekolah sudak menerapkan sistem asrama dan pendidikan berbasis aktivitas harian mandiri untuk anak penyandang disabilitas. Tercatat ada dua SLB negeri yang menyediakan asrama, yakni di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul. Namun, jumlah pendamping yang terbatas menyebabkan kuota penerimaan anak didik ikut dibatasi.
Selain itu, stigma juga menjadi salah satu penghambat utama dan menjadi penyebab perundungan hingga berujung pada kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru dan teman sebaya.
"Dari riset juga ditemukan adanya kedaruratan pendidikan kesehatan reporduksi, karena masih banyak orang tua kesulitan dalam menyampaikan informasi seputar kesehatan reproduksi," ujar Irma.