Potret Pendidikan Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia, Menagih Hak untuk Setara

Jum'at, 14 Maret 2025 | 23:40 WIB
Potret Pendidikan Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia, Menagih Hak untuk Setara
potret pendidikan anak penyandang disabilitas Indonesia (Suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pendidikan adalah hak semua warga negara, termasuk anak penyandang disabilitas, yang telah dijamin dalam UU. Namun, sebanyak 70,62 persen anak disabilitas terpaksa berhenti sekolah karena berbagai faktor hambatan. Fakta di lapangan menunjukkan kesempatan anak penyandang disabilitas mengenyam pendidikan jauh lebih rendah dibandingkan anak tanpa disabilitas. 

-

Sore yang cerah di sebuah lapangan kecil di Semail, Sewon, Bantul. Anak-anak berlarian, tertawa riang, kaki-kaki kecil mereka berkejaran dengan bola yang menggelinding di rerumputan. Di kejauhan, seorang pemuda berdiri terpaku. Tatapan matanya kosong, tubuhnya ringkih, pakaian yang membalutnya lusuh dan kotor. Aminudin, begitu ia dipanggil, melangkah perlahan, mendekati permainan yang tampak begitu menyenangkan.

Namun, kehadirannya justru membuat riuh berubah cemas. Anak-anak mendadak berhenti bermain, berlarian menjauh.

"Awas, jangan dekat-dekat! Ada orang gila!" seru seorang ibu sambil menarik anaknya menjauh.

Seperti sudah terbiasa, Aminudin hanya berdiri di sana, diam tanpa ekspresi. Sejenak ia memperhatikan anak-anak yang sudah menjauh, lalu berbalik dan kembali berjalan tanpa arah. Tak ada yang ingin mendekatinya, tak ada yang mencoba memahami keinginannya.

“Sebenarnya kasihan Aminudin. Dia itu cuma pengin ikut main bareng, tapi nggak ada yang mau. Pada takut,” ujar Shobirin, pamannya, saat berbincang dengan Suara.com, Jumat (7/3/2025).

Dunia yang Menolak

Aminudin bukanlah seorang asing di desanya. Ia lahir dengan disabilitas intelektual di tengah keluarga yang hidup dalam keterbatasan. Ayahnya seorang buruh serabutan, ibunya seorang ibu rumah tangga yang setia merawatnya.

Di tahun 2008 saat Aminudin berusia tujuh tahun, ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Setiap hari, ayahnya mengantarnya ke sekolah, menunggu hingga kelas berakhir, lalu membawa pulang anak yang selalu butuh pendampingan itu. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Kurang dari setahun, pihak sekolah menyerah.

"Katanya percuma sekolah, sudah tidak ada harapan lebih baik. Sekolahnya angkat tangan, jadi dia terpaksa berhenti,” kata Shobirin.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI