Suara.com - Presiden AS, Donald Trump, bertekad menaikkan tarif lebih tinggi. Keputusan ini muncul setelah kebijakan pajak impor baja dan aluminium memicu balasan dari Uni Eropa (UE) dan Kanada.
Trump menegaskan akan merespons.
"Apa pun yang mereka kenakan kepada kami, kami akan mengenakannya kepada mereka," katanya.
Sementara itu, Uni Eropa berencana menerapkan tarif balasan senilai €26 miliar (Rp441 triliun). Tarif ini berlaku sebagian pada 1 April dan penuh pada 13 April 2025.
Presiden Uni Eropa, Ursula von der Leyen, menyayangkan kebijakan tersebut. Ia menyebutnya tarif "buruk bagi bisnis dan lebih buruk lagi bagi konsumen."
"Tarif mengganggu rantai pasokan. Tarif menciptakan ketidakpastian ekonomi. Pekerjaan terancam, harga naik, dan tak ada yang menginginkannya—baik di Eropa maupun di AS," tegasnya.
Meski begitu, UE tetap terbuka untuk negosiasi. Von der Leyen menyebut langkah ini "keras namun proporsional."
Trump berharap kebijakan ini mendorong produksi baja dan aluminium dalam negeri. Namun, para kritikus khawatir tarif justru akan memicu inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dampaknya mulai terasa. Pada Senin (10/03) dan Selasa (11/03), pasar AS anjlok. Kekhawatiran resesi pun menguat.
Baca Juga: Rupiah Jeblok Tembus Rp16.300, Sri Mulyani Ungkap Biang Keroknya
Pada Selasa (11/03), Trump mengubah rencananya. Ia memutuskan menggandakan tarif, terutama untuk Kanada. Langkah ini merespons kebijakan Ontario yang menerapkan biaya tambahan pada ekspor listrik ke tiga negara bagian AS.
Akibatnya, semua perusahaan AS yang ingin mengimpor baja dan aluminium dari Kanada kini harus membayar pajak 25 persen.
American Iron and Steel Institute (AISI), yang mewakili produsen baja AS, menyambut baik keputusan ini. Mereka yakin tarif akan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produksi baja dalam negeri.
Presiden AISI, Kevin Dempsey, mengatakan kebijakan ini menutup celah pengecualian dan kuota yang selama ini menguntungkan produsen asing.
"AISI mendukung langkah presiden dalam memperkuat integritas tarif baja serta menegakkan program yang lebih tegas untuk menangani praktik perdagangan tidak adil," ujar Dempsey.
AS adalah importir utama aluminium dan baja. Kanada, Meksiko, dan Brasil menjadi pemasok logam terbesar bagi AS.
'Tidak Ada Pengecualian'
Sejumlah negara menanggapi langkah Trump.
Menteri Perdagangan Inggris, Jonathan Reynolds, mengaku kecewa. Ia menegaskan bahwa "semua opsi tersedia" untuk melindungi kepentingan nasional.
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, lebih tegas. Ia menyebut tarif baru AS "tidak bisa dibenarkan."
Meski berusaha mendapatkan pengecualian, Australia memilih tidak mengenakan bea balasan. "Itu hanya akan menaikkan harga bagi konsumen kami," kata Albanese.
Di sisi lain, Kanada merespons dengan ancaman balasan. Menteri Energi Jonathan Wilkinson mengatakan kepada CNN bahwa negaranya “akan membalas, tapi tidak ingin memperburuk situasi.”
Kanada adalah mitra dagang utama AS sekaligus pengekspor baja dan aluminium terbesar ke negara itu.
Pada 2018, Trump memberlakukan tarif 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium. Namun, saat itu banyak negara berhasil mendapatkan pengecualian.
Kali ini berbeda. Pemerintahan Trump sudah mengisyaratkan: tidak akan ada pengecualian.
Baja untuk Inggris
Direktur Jenderal UK Steel, Gareth Stace, menilai langkah AS "sangat mengecewakan."
Beberapa kontrak perusahaan baja dibatalkan atau ditunda. Sementara itu, pelanggan di AS harus membayar pajak tambahan sebesar £100 juta (Rp2,1 triliun) per tahun.
Meski sependapat dengan Trump soal ancaman baja murah yang membanjiri pasar, Gareth mendesak kerja sama, bukan konfrontasi.
"Presiden Trump tentu tahu bahwa kami adalah teman, bukan musuh. Pelanggan kami di AS adalah mitra, bukan lawan," ujarnya.
Tarif ini, lanjutnya, "sangat memukul industri baja Inggris." Impor baja meningkat, sementara harga energi terus menekan sektor tersebut.
Gareth mendesak pemerintah Inggris segera bertindak.
"Kami butuh pertahanan perdagangan yang lebih kuat," katanya. Inggris harus mengikuti langkah Uni Eropa untuk mencegah baja yang tak masuk AS malah membanjiri pasar domestik. Selain itu, Inggris harus menegosiasikan pengecualian dari tarif AS.
Kekhawatiran Resesi
Michael DiMarino, pemilik Linda Tool di Brooklyn, menghadapi dilema.
Perusahaannya memproduksi suku cadang kedirgantaraan, dan bahan bakunya—baja—berasal dari pabrik di AS.
"Kalau harga baja naik, saya harus menaikkan harga jual saya," katanya.
DiMarino mendukung produksi baja AS, tetapi mengingatkan kebijakan Trump bisa menjadi bumerang.
American Automotive Policy Council, yang mewakili Ford, General Motors, dan Stellantis, juga mengkhawatirkan tarif ini.
Presidennya, Matt Blunt, menyatakan pencabutan pengecualian untuk Kanada dan Meksiko bisa "menambah biaya produksi secara signifikan."
Para ekonom pun memperingatkan risiko lebih besar bagi ekonomi.
"Tarif ini memang melindungi industri baja dan aluminium, tapi merugikan sektor lain yang bergantung pada bahan tersebut," ujar Bill Reinsch, mantan pejabat Departemen Perdagangan AS.
Pasar saham AS dan global merosot tajam. Investor panik setelah Trump menolak menepis kemungkinan resesi.
Laporan dari Oxford Economics memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan turun dari 2,4 persen menjadi 2 persen.
Meski demikian, laporan itu menegaskan: "Ekonomi AS masih akan unggul dalam beberapa tahun ke depan."