RKUHAP Tuai Kritik: Jimly Asshiddiqie Ingatkan Bahaya Tumpang Tindih Kewenangan!

Kamis, 13 Maret 2025 | 20:38 WIB
RKUHAP Tuai Kritik: Jimly Asshiddiqie Ingatkan Bahaya Tumpang Tindih Kewenangan!
Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. [Suara.com/Fakhri]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rancangan Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sedang dibahas DPR RI dan pemerintah mendapat sorotan publik.

Salah satu poin yang menjadi sorotan, yakni tentang pihak kejaksaan bisa melakukan penyidikan dalam sebuah perkara, sehingga dianggap membuat kewenangan kejaksaan menjadi terlalu luas.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai bahwa sebaiknya kejaksaan tetap pada fungsinya tetap melakukan penuntutan.

Sehingga, kepolisian tidak kehilangan tugasnya sebagai penyidik seperti yang berjalan selama ini.

Jimly mengatakan bahwa kejaksaan atas nama negara merupakan pemilik perkara atau pemegang perkara yang dikenal dengan istilah dominus litis seperti di beberapa negara dunia.

Akan tetapi, saat ini ada beberapa yang diatur khusus seperti perkara tindak pidana korupsi itu dibuat tersendiri oleh KPK di Indonesia.

"Jadi dua-duanya bisa, KPK bisa, Kejaksaan bisa. Tapi KPK dibatasi yang di atas 1 miliar, misalnya gitu," kata Jimly, kepada wartawan, dikutip Kamis (13/3/2025).

Jimly kemudian menyampaikan, jaksa secara umum merupakan penuntut umum sampai melakukan eksekusi.

Sementara, penyidikan itu dilakukan oleh Kepolisian dan penyidik lainnya yang disebut sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Baca Juga: Pasal Penyelidikan Hilang dalam RUU KUHAP, Pakar: Ketimpangan Serius

Saat ini, lanjut Jimly, jumlah PPNS sudah banyak sekali sekitar 56 PPNS. Rencananya, bakal ada penambahan 1 lagi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Menurut Jimly, penanganan perkara tidak akan efektif jika dilakukan penyidikan oleh dua institusi penegak hukum.

Hal ini juga perlu dilakukan agar tidak ada kesan bahwa kewenangan kepolisian jadi berkurang dalam RKUHAP tersebut. Maka sistem yang sudah berjalan selama ini sebaiknya dilanjutkan.

Meski demikian, Jimly mengaku tidak mengetahui secara detail seperti apa pembahasan RKUHAP terkait kewenangan aparat penegak hukum tersebut.

"Penyidikannya enggak usah kejaksaan, kejaksaan itu penuntutan saja. Biar polisi yang melakukan penyidikan, penuntutannya itu kejaksaan. Polisi ini kan merasa kok dikurangi pekerjaannya," jelas Jimly.

Kecuali, lanjut Jimly, penyidikan dalam perkara tindak pidana khusus atau tindak pidana tertentu seperti korupsi, tindak pidana pencucian uang (TPPU) hingga terorisme.

Meskipun, KPK juga diberikan kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan hingga penuntutan dalam perkara korupsi.

"Semua urusan penuntutan melalui kejaksaan, kecuali tipikor sudah ada KPK. Kan bisa begitu," katanya.

Selain itu, Jimly mengingatkan, dalam pembahasan RKUHAP, sebaiknya harus melibatkan masyarakat.

Hal ini diperlukan menghindari gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), seperti halnya Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Dalam Putusan MK, kata dia, syarat pembentukan Undang-Undang yaitu adanya partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation.

"Harus (membuka draf ke publik). Jadi itu syarat pembentukan undang-undang harus ada partisipasi publik yang bermakna. Kalau nggak, bisa dibatalin di MK," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI