Suara.com - Tradisi meriam Ramadan menjadi penanda khas saat waktu berbuka puasa tiba di Qatar.
Setiap menjelang adzan magrib, dentuman meriam terdengar di berbagai lokasi, seperti Souq Waqif, pasar tradisional yang menjadi pusat keramaian warga dan turis.
Mengutip ulasan website NU Online, Pemerintah Qatar aktif mendukung pelestarian tradisi ini dengan menyiapkan meriam khusus untuk dibunyikan saat Magrib.
Menariknya, anak-anak yang hadir dalam acara itu seringkali mendapatkan hadiah menarik. Hal menambah semarak suasana Ramadan di Qatar.
Selain tradisi meriam, Qatar juga menerapkan pengurangan jam kerja selama Ramadan. Untuk sektor publik, jam kerja resmi dikurangi menjadi lima jam per hari, mulai pukul 09.00 hingga 14.00.
Kebijakan ini memberikan kesempatan bagi pekerja untuk lebih fokus menjalankan ibadah puasa.
Di sektor swasta, jam kerja selama Ramadan dibatasi hingga 36 jam per minggu, atau sekitar enam jam per hari.
Pengurangan jam kerja ini sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Ketenagakerjaan Qatar dan bertujuan menciptakan keseimbangan antara ibadah dan produktivitas kerja.
Dengan kombinasi tradisi meriam yang khas dan penyesuaian jam kerja, Ramadan di Qatar menawarkan pengalaman unik bagi masyarakat lokal maupun pendatang.
Dentuman meriam saat Magrib tidak hanya menandai waktu berbuka, tetapi juga memperkaya budaya dan semangat kebersamaan selama bulan suci.
Sejarah Perkembangan Meriam
Meriam adalah salah satu senjata artileri yang telah digunakan sejak zaman kuno dan terus berkembang hingga era modern.
Mengutip ulasan wikipedia, senjata ini memiliki berbagai ukuran dan daya tembak yang kuat, digunakan untuk menghancurkan musuh di medan perang.
Sejak pertama kali ditemukan, meriam telah mengalami berbagai inovasi yang mengubah strategi militer di darat maupun laut.
Sejarah mencatat bahwa meriam pertama kali digunakan di Tiongkok sebagai bentuk artileri berbasis mesiu tertua. Senjata ini kemudian menyebar ke Timur Tengah dan Eropa, menjadi senjata utama dalam berbagai peperangan.
Penggunaan meriam pertama dalam pertempuran terjadi pada Pertempuran Ain Jalut, ketika pasukan Mesir melawan Mongol di Timur Tengah.
Di Eropa, meriam pertama digunakan dalam perang pada abad ke-13, khususnya selama Reconquista di Semenanjung Iberia. Pada tahun 1346, Inggris menggunakan meriam dalam Pertempuran Crécy, yang menjadi titik awal popularitas senjata ini di medan perang.
Pada masa itu, meriam perang menjadi senjata utama yang efektif dalam menghancurkan benteng pertahanan dan mengalahkan pasukan infanteri lawan.
Seiring berjalannya waktu, desain meriam perang mengalami perubahan besar. Pada masa Perang Dunia I, meriam menjadi penyebab utama banyak korban jiwa di medan pertempuran.
Teknologi persenjataan yang semakin maju memungkinkan pembuatan meriam modern dengan tingkat akurasi dan daya hancur yang lebih tinggi.
Tak hanya dalam pertempuran darat, meriam modern juga memainkan peran penting dalam pertempuran laut.
Angkatan Laut Britania Raya merupakan salah satu kekuatan yang pertama kali mengadopsi penggunaan meriam kapal perang sebagai senjata utama untuk menghadapi musuh di lautan.
Dengan inovasi pada laras dan sistem amunisi, meriam kapal perang menjadi senjata yang semakin mematikan.
Di Nusantara, teknologi meriam diperkirakan masuk pertama kali melalui ekspedisi Mongol pada tahun 1293.
Kerajaan Majapahit kemudian mengembangkan meriam cetbang, yang merupakan varian lokal berbasis teknologi Tiongkok dan Timur Tengah.
Pada abad ke-16 hingga 18, Kesultanan Melayu menggunakan meriam cetbang dalam berbagai pertempuran maritim dan darat.
Desain meriam nusantara berbeda dari Eropa, dengan ornamen khas dan kemampuan yang disesuaikan dengan medan pertempuran lokal.
Hingga saat ini, meriam modern tetap menjadi bagian penting dalam sistem pertahanan militer di berbagai negara.
Teknologi yang semakin canggih memungkinkan penggunaan meriam otomatis, yang dikendalikan dengan sistem digital untuk meningkatkan efisiensi dan daya tembak.