Suara.com - Tepat sebelum ulang tahunnya yang ke-80, Rodrigo Duterte ditahan. Pria yang pernah bersumpah membersihkan Filipina dari narkoba dan kriminalitas itu dikirim ke Belanda.
Mantan presiden Filipina itu ditangkap saat tiba di Bandara Manila dari Hong Kong.
Saat itu, ia tengah menggalang dukungan diaspora Filipina—jumlahnya besar—untuk kandidat pilihannya dalam pemilu paruh waktu.
Polisi Filipina menindaklanjuti surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Pengacara dan keluarga Duterte protes. Mereka menilai penangkapan ini tak memiliki dasar hukum. Mereka juga khawatir akan kondisi kesehatannya.
Tapi semua sia-sia.
Duterte, yang tampak lemah dan bertongkat, digiring ke pangkalan udara dekat bandara. Tak lama, sebuah jet sewaan menerbangkannya ke Den Haag, tempat ICC bersidang.
Lantas, bagaimana pria yang begitu berkuasa dan populer, bahkan dijuluki "Trump Asia", bisa jatuh?
Semasa menjabat, Duterte beraliansi dengan keluarga Marcos—anak-anak diktator terguling Ferdinand Marcos yang ingin kembali berkuasa.
Baca Juga: Pemakzulan Wapres Filipina Jadi Sorotan, Publik Minta Gibran Berhati-hati: Semoga Nular
Duterte tak bisa maju lagi pada Pilpres 2022. Maka, ia mengusung putrinya, Sara Duterte, yang saat itu menjabat Wali Kota Davao.
Tapi ada pesaing kuat: Bongbong Marcos alias Marcos Jr. Ia punya peluang menang dan dana melimpah.
Kedua keluarga bersepakat.
Mereka mendorong Bongbong sebagai presiden dan Sara sebagai wakilnya. Tujuannya jelas: pada 2028, giliran Sara akan tiba, didukung "mesin politik" Marcos.
Strategi ini berhasil.
Marcos Jr dan Sara menang telak.
Duterte berharap aliansi ini melindunginya dari tuntutan atas kebijakan kontroversialnya.
Ancaman terbesarnya datang dari ICC. Ribuan pembunuhan di luar hukum dalam perang narkoba selama pemerintahannya diselidiki sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada 2019, Duterte menarik Filipina dari ICC. Namun, ICC tetap mengklaim yurisdiksi atas kejahatan sebelum itu dan membuka penyelidikan pada 2021.
Awalnya, Presiden Marcos Jr menolak bekerja sama dengan ICC. Lalu, situasi berubah. Aliansi Duterte-Marcos retak.
Sejak awal pemerintahan, tanda-tanda perpecahan sudah tampak. Sara ingin mengendalikan Kementerian Pertahanan, tapi ditolak. Ia justru diberi Kementerian Pendidikan.
Marcos Jr juga mengambil langkah berbeda dari Duterte: memperbaiki hubungan dengan AS, menantang China, dan menghentikan kebijakan perang narkoba.
Pada akhirnya, ini bukan sekadar perbedaan kebijakan.
Ini soal dua dinasti haus kuasa yang bersaing menguasai politik Filipina.
Dan "kue kekuasaan" tak cukup untuk dibagi.
Hubungan keduanya mencapai titik nadir tahun lalu.
Sara Duterte bahkan mengklaim telah menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi Marcos jika sesuatu terjadi padanya.
Tak lama, loyalis Marcos di Kongres mengajukan pemakzulan Sara. Kini, sidang berlangsung di Senat.
Jika pemakzulan terjadi, Sara dilarang mencalonkan diri sebagai presiden. Ambisi politik keluarga Duterte pun melemah.
Marcos Jr tampaknya ingin menyingkirkan rival terbesarnya secepat mungkin.
Tapi langkah ini berisiko.
Keluarga Duterte masih populer. Mereka bisa menggerakkan protes besar-besaran.
Sara Duterte pun menuduh pemerintah menyerahkan ayahnya kepada "kekuatan asing" dan mengkhianati kedaulatan Filipina.
Ujian pertama akan terlihat di pemilu paruh waktu Mei mendatang.
Sementara itu, Marcos Jr bersikeras bahwa ia hanya memenuhi komitmen kepada Interpol.
Tapi ia bungkam soal keabsahan surat perintah ICC. Filipina, bagaimanapun, sudah keluar dari ICC.
Lalu, bagaimana dengan ICC? Menahan Duterte mungkin tampak seperti kemenangan besar.
Namun, ICC juga menghadapi tantangan. Banyak negara menolak bekerja sama. AS, di era Trump, bahkan mengancam menangkap pejabat ICC yang berani masuk wilayahnya.
China pun memperingatkan agar kasus ini tidak dipolitisasi. Banyak yang menilai ini bukan sekadar tentang Duterte dan kejahatannya. Ini juga soal pertarungan politik dua dinasti besar di Filipina.