Suara.com - China ingin jadi raksasa AI pada 2030. Ambisi ini bukan tanpa tantangan. DeepSeek, chatbot buatan China yang mencuri perhatian dunia Januari lalu. Tapi itu hanyalah awal.
Pemerintah menggelontorkan dana besar untuk perusahaan AI. Saat ini, lebih dari 4.500 perusahaan berlomba mengembangkan teknologi ini.
Di Beijing, sekolah-sekolah mulai mengajarkan AI ke anak-anak. Universitas pun menambah kuota mahasiswa jurusan AI.
![Ilustrasi DeepSeek. [Pexels]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/02/12/72235-ilustrasi-deepseek.jpg)
Sejak 2017, Partai Komunis menegaskan AI sebagai "kekuatan pendorong utama" kemajuan negara.
Presiden Xi Jinping bertaruh besar di bidang ini, terutama di tengah perlambatan ekonomi dan ketegangan dagang dengan AS.
Beijing mengalokasikan 10 triliun yuan (Rp16 kuadriliun) untuk AI dalam 15 tahun ke depan. Pendanaan ini semakin digenjot setelah AS memperketat kontrol ekspor chip canggih dan menambah daftar hitam perusahaan China.
Namun, perusahaan China menunjukkan ketangguhannya.
DeepSeek membuktikan bahwa mereka bisa bersaing, bahkan mengejutkan Silicon Valley. Salah satu perusahaan yang mencuri perhatian adalah SenseRobot, milik Tommy Tang. Robot catur buatannya bahkan berhasil mengalahkan Grand Master.
Tang bercerita, banyak pelanggan mengira perusahaannya berasal dari AS atau Eropa. Mereka terkejut saat tahu SenseRobot buatan China.
Baca Juga: Perjalanan NeutraDC Menginjak 3 Tahun, Perkuat Inovasi Infrastruktur Digital AI
Kini, produknya sudah terjual lebih dari 100.000 unit dan masuk ke jaringan Costco di AS.
Di Balik Kesuksesan AI China?
Kesuksesan AI China tak lepas dari generasi mudanya. Pada 2020, lebih dari 3,5 juta mahasiswa lulus di bidang STEM—terbanyak di dunia. Beijing ingin memanfaatkan ini untuk memacu inovasi.
"Di era AI, kami punya banyak insinyur berbakat dan pekerja keras," kata Abbott Lyu, wakil presiden Whalesbot, perusahaan mainan AI di Shanghai.
Perusahaan ini mengembangkan mainan yang mengajarkan anak-anak belajar coding sejak usia tiga tahun.
Sementara itu, enam perusahaan AI terkemuka China kini dijuluki "Enam Naga Kecil," termasuk DeepSeek, Unitree Robotics, dan BrainCo.
Kekhawatiran Di Baliknya
Pameran AI di Shanghai baru-baru ini menjadi ajang unjuk gigi. Robot pencarian dan penyelamatan, hingga robot anjing yang bisa salto, tampil di sana. Bahkan, ada pertandingan sepak bola robot humanoid.
Namun, di balik euforia ini, ada kekhawatiran. AI butuh data, dan China punya keunggulan dengan satu miliar pengguna ponsel.
Negara-negara Barat khawatir data dari aplikasi China seperti DeepSeek dan TikTok bisa diakses pemerintah. Beberapa negara pun mulai melarang penggunaan aplikasi ini.
China menyadari tantangan ini. Meski begitu, perusahaan AI-nya tetap percaya diri. Mereka berfokus pada inovasi hemat biaya.

DeepSeek mengklaim bisa menyaingi ChatGPT dengan biaya lebih rendah—sebuah kejutan di industri AI.
Bagi Beijing, AI bukan sekadar teknologi. Ini adalah jalan menuju kemandirian.
Presiden Xi menekankan pentingnya "kemandirian teknologi," termasuk dalam produksi chip canggih. China tak ingin bergantung pada AS.
Namun, bagi China perjalanan ini masih panjang. Beijing Daily menegaskan, China belum jadi penguasa AI. Mereka masih dalam mode "mengejar ketertinggalan."
Xi Jinping tahu, ini bukan sprint. Ini maraton. Ia berharap bahwa kelak China akan menjadi juara.