Suara.com - Sejarah Kalimantan Timur (Kaltim) mencatat banyak sosok heroik, salah satunya adalah Sultan Aji Muhammad Idris.
Nama ini mungkin belum setenar pahlawan nasional lainnya, tetapi perjuangannya melawan penjajahan VOC menjadi bagian penting dari perlawanan Nusantara.
Sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip, dalam bukunya Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik.
Mengungkapkan bahwa Sultan Aji Muhammad Idris merupakan pemimpin pertama Kesultanan Kutai yang menggunakan gelar "sultan".
Perubahan gelar ini bukan sekadar formalitas, tetapi juga menandai peralihan sistem monarki Kutai yang lebih bernuansa Islam.
“Perubahan ini menandai peralihan bentuk monarki yang lebih bernuansa religiositas Islam,” ujar Sarip di Samarinda, Selasa, 11 Maret 2025.
Menurutnya, gelar sultan mulai digunakan ketika ibu kota Kerajaan Kutai masih berada di Jembayan.
Sultan Aji Muhammad Idris naik takhta menggantikan ayahnya, Pangeran Anum Panji Mendapa Ing Martapura, yang wafat pada tahun 1732.
Gelar tersebut bukan sekadar simbol, tetapi juga menunjukkan pengaruh Islam yang semakin kuat dalam sistem pemerintahan Kutai.
Baca Juga: Belajar dari Skandal Minyakita, Bagaimana Hukum Mengurangi Takaran Dalam Islam?
Namun, Sultan Idris bukan hanya seorang pemimpin yang membawa perubahan di internal kerajaan.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang berani melawan dominasi VOC, terutama dalam peperangan di perairan Nusantara.
Bertempur Melawan VOC Bersama La Maddukelleng
Sultan Aji Muhammad Idris memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan Kerajaan Paser dan Wajo.
Ia menikah dengan cucu Raja Paser, yang menghubungkannya dengan La Maddukelleng, Raja Wajo yang gigih menentang VOC.
"Sultan Idris turut membantu La Maddukelleng dalam peperangan melawan VOC di Selat Makassar dan Pulau Sulawesi, khususnya tanah Wajo," ungkap Sarip.
Persekutuan ini menjadikan Sultan Idris sebagai bagian dari perlawanan besar terhadap penjajahan di perairan Nusantara.
Dalam pertempuran-pertempuran sengit, ia dan pasukannya memberikan perlawanan yang tidak bisa dianggap remeh oleh VOC.
Akhir Tragis Sang Sultan
Namun, kisah heroik Sultan Idris harus berakhir tragis. Ia gugur akibat luka parah saat berperang dan dimakamkan di Wajo. Ada beberapa versi mengenai penyebab kematiannya.
Versi pertama menyebutkan bahwa ia terkena serangan dari serdadu VOC. Versi lain mengatakan bahwa ia terperosok ke dalam lubang jebakan yang dibuat oleh pihak tertentu.
Bahkan, ada rumor bahwa saudaranya sendiri, Aji Kidok, yang mendalangi jebakan tersebut.
Namun, Aji Bambang Imbran, kerabat Kesultanan Kutai dan pemerhati sejarah Kutai, menolak anggapan bahwa Aji Kidok adalah dalang dari kematian Sultan Idris.
Ia menegaskan bahwa Aji Kidok justru bertugas sebagai pemangku sultan saat Aji Imbut, putra Sultan Idris, masih belum cukup dewasa untuk memerintah.
Perjuangan Mengakui Sultan Idris sebagai Pahlawan Nasional
Meski Sultan Aji Muhammad Idris gugur dalam pertempuran, perjuangannya tidak dilupakan begitu saja.
Sejak tahun 1999, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mulai mewacanakan pengajuan gelar kepahlawanan untuknya.
Dorongan ini semakin kuat setelah Sultan Wajo, La Maddukelleng, yang merupakan sekutunya, diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Setelah melewati proses panjang dan penelitian yang mendalam, akhirnya pada 10 November 2021, Presiden RI Joko Widodo secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Aji Muhammad Idris.
Pengakuan ini menjadi bukti bahwa perjuangannya dalam melawan penjajah tidak sia-sia dan tetap dikenang sebagai bagian dari sejarah besar Nusantara.
Dari Kutai hingga Wajo, nama Sultan Aji Muhammad Idris kini dikenang sebagai pejuang yang tidak hanya mempertahankan kehormatan kerajaannya, tetapi juga ikut serta dalam perlawanan besar melawan VOC.
Kisahnya adalah bukti bahwa perjuangan mempertahankan negeri tidak mengenal batas wilayah, melainkan bersatu demi kemerdekaan dan kehormatan bangsa.