Tragedi di Suriah: Kisah Kelam Penjarahan dan Pembunuhan Warga Alawi

Selasa, 11 Maret 2025 | 11:08 WIB
Tragedi di Suriah: Kisah Kelam Penjarahan dan Pembunuhan Warga Alawi
Penganut Alawi di Suriah. (BBC Indonesia)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aksi kekerasan dan pembunuhan balas dendam terus terjadi di wilayah loyalis Bashar al-Assad. Ratusan orang meninggalkan rumah mereka di Provinsi Latakia dan Tartus, basis kuat pendukung mantan pemimpin yang digulingkan itu.

Warga melaporkan penjarahan dan pembunuhan massal. Korban termasuk anak-anak. Di Hai Al Kusour, permukiman Alawi di pesisir Banias, jalanan dipenuhi mayat. Berserakan. Ditumpuk. Berlumuran darah.

Saksi mata melihat laki-laki dari berbagai usia ditembak mati di sana.

Sekte Alawi, cabang Islam Syiah, mencakup 10 persen populasi Suriah. Mayoritasnya Muslim Sunni. Bashar al-Assad berasal dari sekte ini.

Ketakutan merajalela. Warga bahkan takut mengintip dari jendela pada Jumat (07/03). Internet tidak stabil. Ketika terhubung, mereka justru mendapat kabar kematian tetangga lewat Facebook.

Ayman Fares selamat karena satu alasan: dia sedang dipenjara.

Pada Agustus 2023, ia mengunggah video yang mengkritik Assad. Tak lama, ia ditangkap. Fares bebas setelah pasukan militan membebaskan tahanan, menyusul kejatuhan Assad pada Desember silam.

Orang-orang bersenjata menyerbu jalan-jalan Hai Al Kusour. Mereka mengenali Fares. Nyawanya selamat, tetapi rumahnya tidak.

Mobilnya dirampas. Barang-barang lain dijarah. Mereka melanjutkan aksi penjarahan ke rumah-rumah tetangganya.

Baca Juga: Elon Musk Ngaku Dapat Ancaman Pembunuhan Setelah Pangkas Anggaran Pemerintah AS

"Mereka orang asing," kata Fares.

"Bahasa mereka tidak familiar. Sepertinya Uzbek atau Chechnya."

Beberapa orang Suriah tampak di antara mereka. Bukan aparat resmi. Ada juga warga sipil yang ikut membunuh.

Fares menyaksikan horor itu langsung. Keluarga-keluarga dieksekusi di rumah mereka sendiri. Darah membanjiri lantai. Perempuan dan anak-anak terbunuh.

Beberapa korban mencoba bersembunyi di atap. Tapi mereka tetap ditemukan. Tetap dibunuh.

"Sungguh mengerikan," ujarnya.

Kekacauan di kota pesisir

Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia mencatat lebih dari 740 warga sipil tewas. Korban tersebar di Latakia, Jableh, dan Banias.

Selain itu, 300 anggota pasukan keamanan dan sisa-sisa loyalis Assad juga terbunuh. BBC belum bisa memverifikasi angka ini secara independen.

Keadaan baru mereda ketika tentara Suriah masuk ke Banias. Mereka mengusir faksi-faksi bersenjata, lalu mengevakuasi warga yang selamat.

Ali, seorang warga Banias, membenarkan kesaksian Fares. Ali, istrinya, dan putrinya yang berusia 14 tahun nyaris terbunuh. Mereka hanya bisa bersembunyi saat tembakan terdengar di luar rumah.

Internet putus-nyambung. Ketika tersambung, mereka mendapat kabar buruk: tetangga mereka tewas. Penyerang akhirnya tiba di gedung tempat Ali tinggal.

"Kami pikir ini akhir hidup kami," katanya.

Mereka mencari harta. Pintu-pintu digedor. Uang, emas, dan mobil dijarah. Tapi tidak semua penghuni dibunuh.

Seorang tetangga Sunni membantu Ali dan keluarganya melarikan diri.

"Kami hidup berdampingan selama bertahun-tahun. Alawi, Sunni, Kristen. Tapi ini di luar nalar," katanya.

Kini, mereka tinggal sementara di permukiman mayoritas Sunni, menunggu faksi-faksi bersenjata terusir dari Banias.

Perlawanan baru, kekacauan baru

Kekerasan meletus setelah loyalis Assad yang menolak menyerahkan senjata menyerang pasukan keamanan di Latakia dan Jableh. Puluhan orang tewas. Ghiath Dallah, mantan jenderal Assad, mengklaim dirinya pemimpin pemberontakan baru. Dia mendeklarasikan "Dewan Militer untuk Pembebasan Suriah."

Loyalis Assad yang bertahan di pegunungan diduga sedang membentuk kelompok perlawanan. Tapi warga Alawi menolak mereka.

"Mereka menikmati pertumpahan darah ini," kata Fares. "Kami butuh keamanan, bukan perang baru."

Di sisi lain, Presiden sementara Ahmad al-Sharaa juga mendapat kritik. Dia membubarkan tentara dan kepolisian Assad tanpa rencana jelas. Ribuan petugas kini menganggur. Banyak di antara mereka bukan pelaku kejahatan rezim Assad, tetapi tetap kehilangan pekerjaan.

Pemerintah baru juga memecat ribuan pegawai negeri. Di tengah krisis ini, 90 persen warga Suriah hidup dalam kemiskinan. Ribuan orang kehilangan penghasilan.

Pemberontakan bisa meletus kapan saja.

Suriah di persimpangan jalan

Warga Suriah terpecah dalam menanggapi kekerasan ini. Banyak yang mengutuk pembunuhan warga sipil, terlepas dari agama mereka. Demonstrasi digelar di Damaskus untuk menuntut keadilan.

Namun, dalam dua hari terakhir, seruan "Jihad" juga menggema di berbagai wilayah. Beberapa warga sipil bersenjata bergabung dengan faksi pembunuh.

Sentimen sektarian semakin membara. Selama 13 tahun, mayoritas Muslim Sunni menjadi korban kekerasan rezim Assad. Kini, kebencian terhadap minoritas Alawi membesar.

Kelompok hak asasi manusia menyebut ada bukti kuat bahwa aparat Alawi di bawah Assad terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan ribuan warga Sunni.

Kini, banyak tentara dan pasukan keamanan yang tewas justru berasal dari komunitas Sunni. Beberapa kelompok Sunni menuntut balas.

Di tengah kekacauan ini, Ahmad al-Sharaa berupaya menjaga stabilitas. Dia ingin menegakkan keadilan atas kejahatan Assad, tapi juga harus memastikan keamanan semua warga.

Masalahnya, tidak semua pasukan berada di bawah kendalinya. Beberapa faksi memiliki agenda sendiri. Beberapa di antaranya diisi petempur asing dengan ideologi radikal.

Suriah butuh konstitusi yang melindungi semua warga, tanpa memandang agama. Sharaa terlihat berupaya ke arah itu. Tapi dia menghadapi tantangan besar: mengendalikan faksi garis keras dan mengusir petempur asing.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI