Suara.com - Penghentian sementara pasokan barang ke Gaza oleh Israel menyebabkan dampak yang semakin buruk bagi warga Palestina di wilayah tersebut. Sejumlah toko roti terpaksa tutup, harga pangan melonjak, dan pemutusan pasokan listrik mengancam akses terhadap air bersih, menurut pejabat Palestina.
Penangguhan distribusi makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ini diklaim Israel sebagai upaya menekan kelompok militan Hamas dalam negosiasi gencatan senjata. Namun, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan bahwa langkah ini berisiko besar terhadap kehidupan 2,3 juta warga Gaza yang bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Krisis Pangan Makin Parah Ketua serikat pembuat roti Gaza, Abdel-Nasser al-Ajrami, mengungkapkan bahwa enam dari 22 toko roti yang masih beroperasi di Gaza telah terpaksa tutup akibat kehabisan gas untuk memasak.
"Jika pasokan tidak segera masuk, toko roti yang tersisa bisa tutup dalam waktu seminggu atau lebih," ujarnya.
Penutupan toko roti ini semakin memperparah kelangkaan makanan dan meningkatkan permintaan roti di tengah kondisi yang sudah sulit.
Harga bahan pangan dan bahan bakar terus meningkat, memaksa banyak warga untuk mengurangi konsumsi makanan. Ghada al-Rakab, seorang ibu enam anak yang kini tinggal di tenda di Khan Younis setelah rumahnya hancur, mengungkapkan kesulitan yang ia hadapi.
"Tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada kehidupan yang layak. Kami bahkan kesulitan membuat makanan untuk keluarga," keluhnya.
Ancaman Kesehatan dan Lingkungan Israel kembali memutus pasokan listrik ke Gaza sebagai bagian dari tekanan terhadap Hamas untuk membebaskan sandera.
Menteri Energi Israel, Eli Cohen, menginstruksikan Perusahaan Listrik Israel untuk tidak menjual listrik ke Gaza, yang berakibat pada terhentinya operasional pabrik desalinasi air. Menurut Otoritas Air Palestina, hal ini menghentikan produksi 18.000 meter kubik air bersih per hari untuk wilayah tengah dan selatan Gaza.
Baca Juga: Tarif Beijing atas Barang Pertanian AS Mulai Berlaku sebagai Respons Terhadap Kebijakan Trump
Mohammad Thabet, juru bicara pembangkit listrik Gaza, mengatakan bahwa pemutusan listrik ini berisiko besar terhadap kesehatan warga.
"Pemerintah daerah mungkin terpaksa membuang air limbah ke laut, yang dapat menimbulkan risiko lingkungan dan kesehatan yang melampaui batas wilayah Gaza," katanya.
Selain itu, kelangkaan bahan bakar membuat generator siaga di pabrik desalinasi dan pengolahan limbah tidak dapat beroperasi secara optimal.
Bantuan Kemanusiaan Semakin Terbatas Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) menyatakan bahwa pasokan bantuan yang dikelola oleh Bulan Sabit Merah Palestina semakin menipis.
"Jika ada bahan pokok seperti telur dan ayam, harganya sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh sebagian besar warga Gaza," kata juru bicara IFRC, Tommaso Della Longa.
Selain kelangkaan pangan, pasokan medis yang terbatas juga mengancam layanan kesehatan.
"Kekurangan obat-obatan bisa berdampak pada pasien di klinik kesehatan keliling, layanan ambulans, dan rumah sakit lapangan," tambahnya.
Upaya Menyelamatkan Gencatan Senjata Gencatan senjata yang berlaku sejak 19 Januari 2025 semakin rapuh. Hamas telah menukar 33 sandera Israel dan lima warga Thailand dengan sekitar 2.000 tahanan Palestina dalam tahap awal perundingan.
Namun, negosiasi tahap kedua mengenai pembebasan sandera yang tersisa serta masa depan Gaza pascaperang masih mengalami kebuntuan.
Para mediator dari Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat berusaha menyelamatkan perundingan dan mengadakan diskusi dengan Hamas. Negosiator Israel dijadwalkan bertemu di Doha pada Senin untuk membahas kelanjutan gencatan senjata.
Juru bicara Hamas, Abdel-Latif al-Qanoua, menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen pada perjanjian tahap awal dan meminta para mediator untuk menekan Israel agar segera memulai negosiasi lanjutan.
Namun, Israel bersikeras bahwa Hamas harus membebaskan sandera yang tersisa tanpa persyaratan tambahan.
Di tengah kebuntuan ini, serangan udara Israel pada Senin dilaporkan menewaskan satu warga Palestina di kamp Bureij, Jalur Gaza tengah, menunjukkan betapa rentannya situasi di wilayah tersebut.
Hingga saat ini, lebih dari 48.000 warga Palestina telah tewas akibat serangan Israel sejak Oktober 2023, menurut pejabat kesehatan Gaza.